Minggu, 28 Desember 2008

AKHIR SEBUAH RIWAYAT PEMBERONTAKAN PERKONGSIAN
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

KEHIDUPAN PASCA PERANG KONGSI
Setelah perang Monterado atau Perang Kongsi, jumlah pejabat kolonial di propinsi bertambah dengan cepat, kepembanturesidenan disusun ulang, dan kekuasaan kolonial semakin diperluas hingga di luar wilayah garis pantai. Pembangunan ini menuntut perekrutan opsir dan pembantu Tionghoa baru di beberapa wilayah. Sambas, Monterado dan Sintang menjadi kepembanturesidenan, dengan beberapa controleur ditempatkan di kota-kota yang lebih kecil. Jumlah controleur terus bertambah menjadi 8 lalu 11 pada 1865. monterado yang mencakup wilayah Thaikong dan kongsi-kongsi lainnya, selain memiliki pembantu residen, juga terdapat empat controleur orang Belanda dan seorang kapthai atau regent Tionghoa, tiga orang kapitan yang ditempatkan di kota-kota yang lebih besar, dan sekitar 30 laothai yang ditempatkan di beberapa kota kecil, bersama dengan perwakilan sultan Sambas, yang bertanggung jawab untuk mengatur penduduk pribumi.

Pada 1880-an, ibukota distrik ini dipindahkan ke Singkawang, yang posisinya menjadi lebih penting bila dibandingkan dengan Monterado yang dulunya menjadi pusat kongsi, sebab populasi penduduk berpindah mendekati pantai. Petunjuk mengenai semakin kurang pentingnya Mandor pada abad ke 20 ialah karena ia hanya dipimpin oleh seorang laothai, sementara Sungai Pinyuh, sebuah daerah pusat perdagangan pesisir yang pernah merupakan bagian dari kongsi Lanfang, mempunyai seorang kapitan. Bekas wilayah Samtiaokioe di Pemangkat dan Seminis menjadi bagian kepembanturesidenan Sambas. Akibatnya, kebanyakan orang Tionghoa kini tinggal di wilayah yang dipimpin oleh penguasa pribumi, sekalipun mereka sesungguhnya berada secara langsung di bawah daulat pemerintah kolonial.

Salah satu akibat jangka panjang dari kerusuhan yang terjadi pada 1912-1914 nantinya, adalah diperluasnya daerah distrik Singkawang. Pada 1914 sebuah daerah perluasan kepembanturesidenan Singkawang dibentuk dan meliputi Singkawang, Pemangkat, Bengkayang yang dahulunya adalah Lara dan Lumar, Sambas dan Mempawah. Pembantu residen yang memimpin daerah ini ialah seorang pejabat sipil dan militer, yaitu seorang militer yang bekerja untuk jabatan sipil dan tetap memiliki kekuasaan militer. Kepembanturesidenan ini menyatukan seluruh bekas distrik pertambangan Tionghoa, termasuk Mandor, yang dipindahkan dari Pontianak. Akibatnya, daerah perluasan distrik Singkawang yang baru ini mencakup semua wilayah yang disebut secara tidak resmi sebagai Distrik Tionghoa. Singkawang baru dibagi ke dalam lima sub distrik: Singkawang, Pemangkat, Bengkayang, Sambas dan Mempawah. Salah satu dari kelima wilayah ini, yaitu onderafdeeling (sub distrik) Pemangkat dibubarkan pada 1923, dan wilayah ini dibagikan antara sub distrik Sambas dan Singkawang.

Karena kekuasaan Belanda diperluas hingga ke daerah pedalaman pada akhir abad ke 19, kebanyakan wilayah yang didiami suku Dayak menjadi berada langsung di bawah kekuadaan Belanda, bukan di bawah daulat penguasa Melayu. Namun, kekuasaan Hindia Timur Belanda di wilayah pedalaman masih lemah. Di wilayah yang luas namun belum berkembang seperti itu, mungkin ada pejabat kolonial yang bisa campur tangan, namun mereka tidak bisa memerintah. Situasi ini menciptakan berbagai kesempatan menarik bagi para pedagang Tionghoa yang banyak akal dan berani. Jumlah opsir dan pegawai Tionghoa di Borneo Barat semakin bertambah sepanjang dekade-dekade ini. Namun, tak jelas apakah mutu dan kewenangan para opsir baru ini juga mengalami peningkatan.
Para pedagang Tionghoalah yang telah mencetuskan perubahan ekonomi di daerah pedalaman. Kebanyakan pemukiman di Borneo Barat yang lebih berkembang dibandingkan kampung, memiliki pasar. Pasar merupakan pemukiman yang ditunjukkan oleh terpusatnya para pedagang Tionghoa yang tinggal di rumah-rumah toko mereka, di mana bagian usaha ditempatkan di bagian depannya, pada lantai rumah, sementara seluruh keluarga tinggal di bagian belakang atau di lantai atas. Pasar di sini berbeda dengan pasar untuk pedagang kampung kecil yang ada di daerah Jawa, karena pasar selalu memiliki arti sebuah pemusatan orang Tionghoa, apakah itu berada di bekas kota kongsi, pemukiman Melayu, atau di pusat pemerintahan di pedalaman.

Orang Tionghoa membangun sebuah pemukiman yang padat di mana mereka menemukan pusat arus lalu lintas, contohnya penyeberangan di sungai, muara sungai dan delta, dan pemukiman ini dengan segera memperoleh ciri perkotaan sekalipun di wilayah itu baru terdapat beberapa rumah. Meskipun para pemilik toko Tionghoa dianggap relatif makmur, namun rumah mereka terlihat berlumut dan terabaikan, terasa tidak nyaman. Di sepanjang sungai terletak tempat mandi yang sederhana. Rumah-rumah mereka biasanya berkonstruksi kayu, kadang dilapisi tanah liat untuk melindungi dari api, dengan atap alang-alang, nipah atau yang lebih mahal yaitu sirap yang terbuat dari kayu besi.

Konstruksi rumah kayu ini cukup baik, namun beresiko karena menjadikannya rentan terhadap kebakaran. Sekalipun pemerintah telah menyakinkan para pemukim untuk mengubah gaya bangunan mereka, namun kebakaran tetap menjadi ancaman yang bisa muncul setiap waktu. Beberapa kebakaran yang terjadi menunjukkan betapa pasar-pasar tersebut sangat berdesak-desakan. Ketika pasar Singkawang terbakar pada 1927, sekitar 70 rumah termasuk 2 sekolah hangus dilahap api. Kebakaran terjadi lagi di wilayah sama pada 1931 dan 1937 yang menghanguskan hotel-hotel, beberapa kelenteng, sebuah masjid, lebih dari tiga ratus rumah, dan seratus toko. Distrik perdagangan yang ada di Pontianak juga pernah berulang kali terbakar, salah satu di antaranya menyebabkan kerugian sebesar f1.000.000 pada 1917.

De Groot menunjukkan bahwa perkumpulan rahasia muncul setelah penghapusan federasi kongsi dan menduga bahwa kongsi telah menjaga agar mereka tetap terkendali, sementara menghilangnya kekuasaan kongsi membuat mereka menjadi bebas bergerak. Tentu saja, kongsi akan meminimalkan kegiatan oposisi dengan cara menegakkan kekuasaannya secara tegas. De Groot secara keras membantah Veth dan Hoffmann, dua sejarawan Belanda yang dia kutip, bahwa kongsi itu sendiri didirikan dalam bentuk perkumpulan rahasia, namun dia mengkaitkan kemunculan kelompok-kelompok rahasia setelah 1855 hingga penghapusan kongsi, dan pengalaman 1884 di Mandor, secara sekilas, tampaknya membenarkan pendapat itu.

Namun demikian, perkumpulan-perkumpulan seperti itu di Borneo Barat sangat terbatas di tingkat lokal. Para pegawai kolonial dilatih untuk mengenali perkumpulan rahasia terutama dari pemikiran Gustaaf Schlegel. Buku ini, Thian Ti Hwui: The Hung-league or Heaven Earth League: A Secret Society with the Chinese in Chine and India (1866) tampaknya menjadi bacaan wajib bagi para pejabat kolonia, terutama petugas bahasa Tionghoa yang seringkali mengutipnya. Buku Schlegel terbit 1866 tadi yang menjabarkan sumpah mereka, katekismus mengenai tanya jawab pengukuhan, dan mengenai organisasi mereka secara rinci. Kapan saja mereka menemukan simbol-simbol perkumpulan atau bukti lainnya, para aparat segera menghubungkan temuan tersebut dengan sebuah kelompok. Meskipun tidak pernah menemukan adanya bukti nyata keterikatan dengan Tiongkok atau Singapura di balik dari sebagian kecil imigran yang sudah menjalani ritus pengukuhan, perkumpulan disangka menyebarkannya kepada yang lainnya di koloni.

Masing-masing konspirasi hui termasuk konspirasi 1912 merupakan sebuah tanggapan dari sebuah provokasi tertentu: penghapusan Thaikong dan penerapan pajak dan wajib kerja pembangunan jalan, penghapusan Lanfang, penistaan aula kongsi setelah kematian kapthai Lanfang, penerapan pajak dan kewajiban baruu, termasuk kewajiban melakukan kerja paksa (corvee) yang diterapkan oleh pemerintah. Pada 1912, kenaikan yang sangat tinggi atas pajak dan kerja paksa memprovokasi kembali terjadinya sebuah perlawanan. Dalam situasi seperti ini, para pemberontak untuk memastikan kesetiaan mereka satu dengan yang lain mempergunakan sumpah dan simbol-simbol yang secara luas sudah dikenal oleh orang Tiongkok bagian selatan dan secara luas sudah dipergunakan untuk mengikat persatuan rakyat. Seperti halnya kongsi, perkumpulan-perkumpulan menerapkan agama rakyat Tionghoa dan simbol-simbolnya. Berbagai tradisi dan simbol tersebut bukanlah enyebab dari kegiatan pemberontakan, namun dipakai sebagai prinsip-prinsip organisasinya.

Apakah kongsi-kongsi tersingkirkan dikarenakan mereka terlalu demokratis? Thaikong yang paling baik dalam menerapkan model ini, pemilihan para pejabat yang begitu sering membuat tidak senang Belanda yang menginginkan berunding dengan mitra yang lebih tetap. Namun, satu penuturan terhadap pemilihan ini memperlihatkan bahwa jabatan yang serupa seringkali hanya digilir di antara para pejabat yang ada, walaupun ini terjadi pada saat yang terakhir, pada masa-masa perang kongsi.

PACHT CANDU DAN SERBA PAJAK
Belanda mengadakan sistem pacht di hampir seluruh wilayah Hindia, suatu monopoli perniagaan yang dipimpin oleh para agen yang membagi keuntungan, atas suatu komoditas dan kegiatan perniagaan yang dapat dikenakan pajak. Melalui bekerjasama dengan para pemegang monopoli (pachter) yang diberi hak monopoli atas beberapa usaha tertentu, dan mengatur dan memimpin perusahaan ini, pemerintah Hindia Timur memperoleh sejumlah dana yang lumayan besar untuk kas kolonial. Sejumlah orang Tionghoa yang berfungsi sebagai opsir selain mengelola monopoli, juga mengumpulkan kekayaan dan pengaruh dari usaha ini. Di Kepulauan Luar, monopoli yang paling menguntungkan bertempat di dekat pemukiman Tionghoa dan salah satu komoditasnya yang paling menguntungkan adalah candu. Kwee Hoe Toan dalam berbagai tingkatannya telah terlibat bertahun-tahun dalam pacht candu di Borneo Barat.

Sepanjang paruh pertama abad ke 19, madat menjadi komoditas penting dalam komunitas pertambangan, termasuk di penambangan-penambangan emas. Buys (1892) menulis: […di manapun bagian wilayah Hindia, saat saya menemukan kampung Tionghoa, saya melihat rumah judi, yang biasanya merangkap sebagai kedai candu, kedai minum, dan rumah bordil (bordello) …] Pada masa kejayaannya, di Monterado terdapat beberapa kedai candu, dan pengunjung langganannya kebanyakan adalah para penambang, orang Tionghoa lainnya dan beberapa orang pribumi.
Situasi ini berubah sejalan dengan kemunduran pertambangan. Pendapatan dari pacht candu menurun secara signifikan pada paruh kedua abad ke 19. jika usaha ini berhasil meraih keuntungan f400.000 sebelum 1855, maka pada tahun berikutnya jumlah tersebut berkurang hingga menjadi seperlimanya. Menurunnya jumlah penduduk bukanlah satu-satunya penyebab penurunan penghasilan, mengingat, ketika penduduk beralih dari penambang menjadi pemukim, kebutuhan juga menurun. Sebagai tambahan pada berkurangnya pembeli, para pachter candu juga bermasalah ketika mereka menaksir terlalu tinggi pendapatan mereka.

Penurunan ini terjadi tiba-tiba dan menyebabkan opsir seperti Kwee Hoe Toan, yang pada 1854 memegang kendali atas pacht candu di Borneo Barat mengalami kerugian. Rekan sesama pachter di Distrik Tionghoa adalah bekas perunding Thaikong, Eng Tjong Kwee dan Tjang Ping. Eng adalah seorang hartawan dan ia terus menerus terlibat dalam bidang pacht candu, sebuah kegiatan yang spekulatif, selama beberapa tahun lamanya. Awalnya, monopoli itu akan diberikan langsung kepada Monterado. Mengingat monopoli itu telah dijual lelang, dan pemenangnya harus membayarkan jumlah yang telah ditawarkan kepada pemerintah kolonial, para penawar harus menaksir lebih dulu besarnya keuntungan dari monopoli. Seperti halnya penyelundupan, menurunnya penggunaan mengacau perkiraan dan menghancurkan.

Setelah itu, penurunan pendapatan tersebut segera berakibat pada manajemen monopoli dan kalangan elit Tionghoa yang selama masa keemasannya mendapatkan keuntungan dari bisnis ini. Pada 1868, hak untuk menguasai pacht candu di Borneo Barat bahkan diberikan pada orang luar, seorang letnan Tionghoa yang berasal dari Belitung, Ho A Joen. Ho menjadi letnan Tionghoa di Belitung selama beberapa tahun. Ketiadaan landasan setempat yang mantap membuat sesungguhnya tetap akan terjadi sekalipun hak menguasai tersebut dipegang oleh orang dalam, sebab hal tersebut merupakan akibat dari kecenderungan yang merupakan hasil dari perubahan demografi di wilayah itu.

Antara 1865 sampai 1874, nilai pacht candu resmi di Borneo Barat turun dari f261.000 hingga f96.000. nilai ini mengalami kenaikan perlahan pada 1880-an dan di awal 1890-an hingga f100.000 namun kembali menurun. Pada saat itu, pacht candu di Pontianak menjadi monopoli yang paling bernilai di wilayah itu sebab para pekerja perkotaannya adalah juga pemakai candu. Untuk keresidenan secara keseluruhan, penghasilan dari pacht-pacht lainnya yang mengelola perjudian, alkohol, dan penjagalan babi memberi keuntungan lebih besar daripada monopoli penjualan candu. Konsumsi menurun, namun munngkin saja ada faktor lain juga menyebabkan penurunan pemakaian candu dan keuntungan: penyelundupan yang lebih mudah dilakukan dan persekongkolan para penawar untuk menahan penawaran melawan yang lain. Tentang monopoli dalam 1880-an. Nasib pacht itu mencerminkan perubahan kependudukan di keresidenan ini. Dengan pendudukan yang terdiri dari petani dan pedagang menetap sebagai pengganti dari para penambang bujangan, maka permintaan untuk obat bius tersebut menurun.

Pada 1901, pacht candu di Borneo Barat disewakan dengan harga f98.400. wilayah yang lebih kecil di pulau Bangka dan Belitung yang masing-masing berpenduduk sekitar 20.000 penambang timah, menjual monopoli mereka dengan harga yang lebih tinggi, masing-masing f279.924 dan f168.000, sementara pacht candu di daerah perkebunan bagian timur Sumatra memberikan pemerintah penghasilan sebesar f803.600. Pada 1909, sistem pacht atau monopoli akhirnya dihapuskan dan diganti dengan monopoli pemerintah secara resmi yang menguasai penjualan candu di seluruh Hindia.

Hubungan yang tercipta antara Belanda dan Tionghoa di Borneo Barat adalah pajak. Kerja paksa yang berlangsung hingga awal abad ke 20 dan pacht candu juga merupakan sumber penghasilan bagi negara, namun pajak tetap yang terutama. Kebijakan negara kolonial adalah untuk memajaki masyarakat Tionghoa sebanyak mungkin untuk menutup pengeluaran administrasi keresidenan, membayar upah para penguasa bumi, dan membiayai usaha untuk meningkatkan komunikasi dan mempertahankan ketertiban. Biasanya, para opsir Tionghoa mengumpulkan dan bahkan menetapkan pajak ini.

Memajaki orang Tionghoa untuk menutup pengeluaran setempat dimulai pada 1818, dengan pajak kepala yang dibebankan pada orang Tionghoa. Dari 1839 hingga 1852, pemerintah kolonial di Sambas selalu membukukan kerugian, dan Pontianak hampir selalu membebani pemerintah kolonial Hindia dalam jumlah yang jauh lebih besar dari yang berhasil dikumpulkan. Perang kongsi kedua meninggalkan keuangan pemerintah dengan neraca negatif lebih dari f1,2 juta, jumlah yang besar bagi propinsi itu. Prins yang ditunjuk sebagai komisioner pemerintah setelah 1853, segera menyusun aturan perpajakan bagi kaula baru yaitu wilayah bebas kongsi. Di saat Belanda membebankan pajak umum atas impor, kecuali pada impor beras, dan menangani secara langsung monopoli garam, mereka mengumpulkan pajak atas barang-barang dan kegiatan lain melalui monopoli, dengan menjamin secara de facto monopoli administrasi dan perdagangan kepada penawar tertinggi yang biasanya adalah orang Tionghoa.

Perdagangan komoditas, dan kegiatan komersial dan rekreaksional yang dikenakan pajak melalui monopoli itu termasuk, di samping perdagangan candu: pembuatan dan penjualan minuman beralkohol, pemotongan dan penjualan babi, perjudian (tempat bermain pho dan topho dimiliki oleh para pemegang monopoli pajak), menjalankan pegadaian, pemancingan ikan di tepi laut Singkawang, Sungai Raya dan Sungai Duri, pertambangan emas dan mengumpulkan bea cukai dan mengenakan pajak bagi mereka yang ingin kembali ke daratan Tiongkok. Hanya pajak keluar yang tidak ditangani oleh para pemegang monopoli sebelum 1855, dan akhirnya diberhentikan pada 1864. jelas bahwa pemerintah menganggap orang Tionghoa yang meninggalkan Borneo tidak begitu mampu. Penduduk pribumi juga dikenakan pajak atas hasil hutan yang disebut sepuluh-satu. Pada saat itu, berbagai monopoli menghasilkan pendapatan f300.000 lebih pertahunnya. Lama kelamaan, penghasilan dari candu menurun, namun keuntungan dari monopoli lain, kecuali dari pertambangan emas, meningkat. Sebagai tambahan atas beban pajak ini, dan terpisah dari pajak kepala pemerintah, orang Tionghoa juga diharapkan membayar 10 persen pajak dari seluruh pengumpulan dan ekspor hasil hutan, dan membayar penyewaan tanah-tanah yang digunakan kepada para penguasa pribumi.

Pada 1879, Belanda memperkenalkan sebuah pengganti pajak kepala, yang disebut bedrifsbelasting, pajak perusahaan atau pajak usaha, berdasarkan jumlah kekayaan yang dimiliki termasuk kekayaan pribadi. Mulai 1887, orang Arab dibebaskan dari pajak ini. Sistem ini menjamin akan memberi keringanan bagi para pembayar pajak miskin, namun ternyata mereka masih membayar seperti semula ketika pajak kepala masih dikumpulkan, sementara orang kaya Tionghoa membayar lebih banyak. Proses yang lama dan sukar untuk menilai kekayaannya dalam rangka menentukan perhitungan jumlah pajak terhutang menimbulkan perlawanan yang kuat dari orang Tionghoa. Lanfang merupakan pusat perlawanan, namun juga merupakan wilayah di mana kapthai dan militer kolonial bekerjasama untuk meredam hal ini. Di seluruh Borneo Barat, penduduk pribumi dibebaskan dari pajak kekayaan, meski di bagian Hindia lainnya, di mana-mana para penduduk pribumi juga harus membayar pajak kekayaan.

Pada 1879 pajak usaha ini yang ditaksirkan di keresidenan ini sebesar f39.415, ini adalah jumlah yang paling tinggi di Kepulauan Luar, yang mencerminkan betapa pentingnya ekonomi masyarakat Tionghoa di Borneo Barat. Ketika pungutan ini dilakukan, perekonomian Borneo Barat sedang tidak begitu baik, dan sebagaimana yang disebutkan bahwa jumlah penduduk sedang mengalami penurunan. Kenyataan bahwa para opsir Tionghoa yang bertanggung jawab untuk menaksir nilai kekayaan untuk memungut pajak baru, menyebabkan mereka, dapat dimengerti, menjadi kurang disenangi dan dihargai. Pemerintah kolonial memungut pajak dari orang Tionghoa dengan bantuan para opsir Tionghoa yang tidak digaji dengan tepat. Hal ini menentukan kepada takdir mereka di kemudian hari.

PEMBERONTAKAN 1912-1914
Diawali dengan sebuah kejadian pada 1912, Distrik Tionghoa, terutama di bagian pedalaman, tiba-tiba menghadirkan satu masalah keamanan yang serius bagi pemerintah kolonial. Pemberontakan itu tidak disangka-sangka oleh pemerintah Belanda. Laporan Residen de Vogel menuliskan: [ … Sikap orang Tionghoa pada distrik [perkampungan, pedalaman] ini lebih baik bila dibandingkan dengan tempat-tempat yang lain … Awalnya memang terasa mengejutkan bahwa pemberontakan justru terjadi di wilayah yang paling bersikap baik dengan pemerintah, namun sesungguhnya hal ini dapat dipahamai bila melihat tekanan yang mereka alami karena kerja paksa, orang kaya dapat menghindarinya dengan membayar, dan mereka juga dipanas-panasi oleh para penghasut dari pesisir, selain terdapat pula kabar angin yang menyebutkan bahwa para pedagang kaya dari pesisir memberikan uang …]. Ironisnya, de Vogel adalah penulis bersama laporan ini, meskipun ia berkali-kali menyangkal bahwa kerja paksalah penyebab pemberontakan. Laporan mengatakan bahwa sikap yang lebih baik ini tidaklah pro Belanda, namun kurang dipengaruhi oleh nasionalisme Tionghoa.

Kedatangan residen yang baru dan bersemangat pada 1912, Henry de Vogel M Hzn, bertugas antara 1912-1918, yang berencana untuk mengembangkan keresidenan yang begitu terabaikan ini, tentu saja memberikan andil terhadap terjadinya kerusuhan. Di saat yang sama, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa permasalahan tersebut telah berkembang sebelum kedatangan de Vogel. Sejak 1906, telah beredar kabar angin mengenai keberadaan perkumpulan rahasia yang baru yang bergerak di keresidenan ini. Pemerintah juga khawatir bahwa pengaruh nasionalisme Tionghoa di kalangan orang Tionghoa di Asia Tenggara juga akan menyebar hingga Borneo. Guomindang dan perkumpulan rahasia telah saling melengkapi, salah satu hal yang ditekankan oleh penasihat de Vogel. Setelah pemberontakan berhasil dipadamkan, pemerintah, dan tentunya juga residen, menyalahkan arus politik yang baru ini sebagai penyebab pemberontakan, namun nampak jelas bahwa kewajiban yang dituntut oleh para pejabatlah, bukan ideologi, yang telah mengakibatkan sejumlah orang Tionghoa tiba pada batas kesabarannya. Para pegawai kolonial sering menyalahkan para penghasut dan biang keladi misterius atas terjadinya kerusuhan, sementara kesulitan ekonomi dan perluasan tuntutan kolonial merupakan penyebab yang lebih jelas. Contohnya, di bawah pemerintahan pendahulu de Vogel sejumlah pajak dinaikkan karena upeti telah dihapuskan dan penguasa pribumi membutuhkan pemasukan. Selanjutnya, de Vogel juga menaikkan beban keuangan melalui penambahan pungutan.

Dilihat dari posisinya, tidak mengejutkan bila dikatakan para opsir Tionghoa menjadi korban utama dari pemberontakan. Pada awal 1912, seorang opsir Tionghoa di Buduk yang mencoba menangkap seorang penghasut dipaksa untuk melarikan diri. Pada Oktober 1912 dua orang opsir rendahan Tionghoa, laothai, di Salinse dekat Bengkayang dan di Benuwang dekat Anjungan dibunuh dengan sadis. Kabar angin tentang meletusnya dan kemungkinan menyebarnya sebuah pemberontakan makin berlipat ganda. Perlawanan ini melibatkan Distrik Tionghoa dan Tayan. Pada 1912, orang Dayak dari Landak,, terdiri atas Behe, Dait, Semarua, Seengsatong dan Menyukei yang tidak jelas hubungannya dengan orang Tionghoa, melancarkan protes dengan kekerasan atas kenaikan pajak, namun Landak kembali tenang pada pertengahan 1913. Sejak saat itu, Landak tidak lagi menjadi kerajaan kalangan pribumi. Kabar angin beredar mengatakan bahwa Tiongkok, yang telah memproklamasikan berdirinya Republik pada 2 Januari 1912, mengirimkan kapal perang untuk membebaskan orang Tionghoa yang ada di Borneo dari penindasan Belanda. Di beberapa daerah, bertebaran poster yang mendorong orang Tionghoa agar tidak membayar pajak, dan perlawanan pun tumbuh. Di beberapa tempat, militer harus memaksakan pengumpulan pajak.

Laporan pemerintah kolonial membebankan kesalahan atas peristiwa ini sebagian karena munculnya kegiatan perkumpulan rahasia dan sebagian lagi karena rasa nasionalisme Tionghoa. Kegiatan kaum nasionalis telah memperkenalkan beberapa bentuk gerakan seperti kamar dagang Tionghoa (Shanghui) dan klub membaca politik (Shubaoshe, yang artinya secara harfiah adalah perkumpulan buku dan surat kabar). Bila diteliti lebih dalam akan diketahui bahwa pemberontakan diakibatkan dari kenaikan pajak, kewajiban kerja paksa danpenerapan secara ketat peraturan mengenai keharusan membawa surat ijin jalan (pas) bagi orang Tionghoa yang hendak melakukan perjalanan. Di satu waktu, mereka bahkan diharuskan untuk membawa lentera di malam hari. Tidak ada laporan tentang pekerja paksa di Borneo Barat dalam penelitian tentang kerja paksa yang diterbitkan di Koloniaal Berslag 1890-an, namun hal ini mungkin disebabkan oleh kelalaian.

Sebagai tambahan, setelah 1900, jumlah penduduk Tionghoa mengalami gelombang imigran baru yang meninggi dan mengendalikan populasi yang kian membengkak ini menjadi sebuah masalah. Pada kuartal pertama 1913, hampir seribu ijin masuk diberikan kepada orang Tionghoa yang tiba di Pontianak. de Vogel takut terhadap satu invasi Tionghoa, akan membawa kalangan yang terburuk yaitu elemen pro-republik. Kedatangan imigran meningkat hingga mencapai lebih dari 6000 orang pada 1913, namun menurun secara tajam selama 1914-1918 dikarenakan perang yang terjadi di Eropa membuat pelayaran menjadi jarang dan kurang dimungkinkan. Bagi banyak pejabat pemerintah kolonial, dan de Vogel adalah salah satunya, Revolusi Tiongkok pada 1911 menimbulkan kecurigaan dan mara bahaya, dan para pendukung republik digambarkan semata-mata sebagai kaum gembel. Namun, apakah dalam kenyataannya para imigran tersebut adalah para pengikut Sun Yat-sen, masih menjadi tanda tanya.

Ketika Belanda menimpakan kesalahan secara berlebih-lebihan atas pecahnya pemberontakan kepada para imigran dan provokator, nyatanya tindakan merekalah yang telah memincu kemarahan orang Tionghoa. Tuntutan pemerintah kolonial terhadap orang Tionghoa semakin meningkat seiring kedatangan de Vogel. Beban yang pertama adalah pembangunan jalan. Penilaian de Vogel adalah benar ketika mengatakan bahwa jalan-jalan di Borneo Barat memerlukan perbaikan. Pada 1832 tidak ada satupun jalan yang pantas disebut sebagai jalan di seantero pesisir barat Borneo. Situasi ini tidak juga berubah hingga 80 tahun kemudian. Untuk kepentingan militer, para pekerja paksa Tionghoa dipaksa untuk membangun jaringan jalan di seputar Singkawang-Monterado-Bengkayang, setelah perang kongsi pada 1850-1854. Pada 1885, dalam perang terhadap sisa-sisa kongsi Lanfang, militer telah membangun sebuah jalan dari Pontianak ke arah Mandor yang mempekerjakan pekerja narapidana, dengan bantuan dari orang Melayu dan Dayak, yang digunakan untuk tujuan militer. Setelah beberapa dekade, hampir semua jalan ini kondisinya rusak dan berubah menjadi hutan. Ini adalah kasus yang terjadi di jalanan Pontianak.

Pada Agustus 1855, jalan baru yang menghubungkan Singkawang dan Monterado selesai dibangun. Pengerjaan jalan terhenti selama 10 minggu untuk memberikan waktu bercocok tanam, setelah itu pekerjaan rekonstruksi sipil dikerjakan lagi dengan sungguh-sungguh. Pada 1856, bekas wilayah Thaikong sangatlah sepi, sementara orang Samtiaokioe telah mundur ke Sarawak. Insiden yang terakhir adalah satu penyerangan terhadap pasukan Belanda di Lumar pada Juni 1856. peristiwa ini kemungkinan diprovokasi oleh kepala setempat yang marah akibat kehilangan penguasaan atas penjualan candu, namun sebab langsung yang menjadi pemicunya adalah karena keputusan Belanda untuk menghancurkan balai kongsi Sjipngfoen yang lama, simbol dari bekas kemerdekaan Lumar. Para pemberontak, kebanyakan dari pertambangan, menduduki balai kongsi, dan membakar pasar sebelum pasukan Belanda yang lebih kuat menghalau mereka keluar. Para penduduk kota Lumar bekerja sama dengan Belanda, dan tidak ada lagi perlawanan dari antara orang Tionghoa di mana pun juga, namun terdapat sekitar tiga ratus orang yang mengungsi ke Sarawak.

Residen de Vogel tiba di wilayah ini dengan membawa sebuah rencana ambisius untuk memajukan perekonomian, khususnya dengan menyediakan sarana komunikasi yang lebih baik. Terutama sekali, dia menginginkan sebuah jalan di sepanjang pesisir yang menghubungkan Pontianak dengan Mempawah, Singkawang dan Pemangkat sejauh 170 kilometer. Ruas-ruas jalan lain terutama di Distrik Tionghoa akan dibangun ulang atau ditingkatkan mutunya. De Vogel mulai membangun atau menyelesaikan jalan sepanjang 1,843 kilometer atau lebih selama masa jabatannya, sebuah rekor yang menakjubkan pada masa itu. De Vogel juga ingin agar jalan-jalan itu dibangun lebih lebar agar bisa dilalui dua kendaraan bermotor sekaligus, sekalipun pada saat itu masih sulit ditemukan kendaraan bermotor di Borneo Barat. Kebanyakan jalan besar ini lebarnya berukuran 6 sampai 8 meter namun tidak diaspal dan hanya dapat digunakan pada saat musim kering saja.

Untuk tugas yang luar biasa ini, orang Tionghoa diperintahkan untuk menyediakan pekerja berat. Tidak hanya orang Tionghoa dari wilayah kongsi, sebagaimana ditentukan oleh satu peraturan hukum 1857, yang diwajibkan untuk bekerja dalam proyek ini, namun penduduk di wilayah lainnya juga diwajibkan. Kewajiban kerja paksa ini juga diperluas hingga terhadap orang Dayak dan bahkan Melayu. De Vogel juga mewajibkan orang Tionghoa di Distrik Tionghoa untuk tinggal di tempat yang sudah ditentukan, bukannya di kebun lada atau kelapa mereka seperti yang biasa mereka lakukan, sekalipun sampai pada waktu itu aturan itu masih diberi toleransi. Dia menerapkan secara tegas peraturan tentang kartu identitas bagi orang yang bepergian. Beberapa opsir Tionghoa menolak untuk menerbitkan kartu identitas bagi orang yang tidak patuh membayar pajak, sekalipun tindakan ini tidak sah. Bertahun-tahun kemudian, di Volksraad (Majelis Rakyat), seorang perwakilan Tionghoa, Kapitan Tjia Tjeng Siang dari Pontianak, menyatakan keberatan dikarenakan bahkan orang yang terhormat pun sering dihentikan di jalan untuk pemeriksaan kartu identitas dan pajak oleh polisi yang terlalu curiga. Menurut Regeeringsalmanak, Tjia adalah seorang mayor kehormatan.

De Vogel juga menaikkan besarnya pajak kekayaan (bedrifsbelasting) menjadi 4,5 persen pertahun untuk pendapatan di atas f630. dan dengan cara menjalankan secara lebih cermat pendaftaran penduduk Tionghoa, dia meningkatkan jumlah orang yang harus membayar pajak. Segala kewajiban ini tentu saja memicu kemarahan. Pada saat yang sama, dengan berkeyakinan bahwa jumlah imigran yang begitu besar akan menjadi lahan subur perlawanan, maka de Vogel juga mencoba untuk menghalangi arus para imigran dengan jalan memungut pembayaran sebesar 25 gulden untuk setiap ijin masuk yang dikeluarkan. Penambahan 25 gulden dibayarkan untuk biaya imigrasi. Ironisnya, dalam memorandum penyerahan jabatannya pada 1918, de Vogel mengatakan bahwa biaya masuk 25 gulden yang dikenakan pada para imigran terlalu tinggi, bila melihat kebutuhan tenaga kerja di Borneo Barat yang begitu besar.

Pemberontakan pada 1912 yang tidak menyebar luas, kemudian diikuti oleh satu pemberontakan lain yang lebih besar pada 1914 di Mempawah yang mendapat dukungan baik dari orang Tionghoa maupun dari orang Dayak, seperti biasaini adalah kombinasi yang sangat berbahaya. Pada Juli 1914, para pemberontak melakukan sumpah persaudaraan, mengikat para anggota untuk setia dan menjaga kerahasiaan. Kelompok ini awalnya beranggotakan beberapa ratus anggota, terdiri dari orang Tionghoa, Dayak dan Melayu. Untuk mengantisipasi kerusuhan, banyak orang Tionghoa yang melarikan diri ke Singapura, sementara yang lainnya bersembunyi di hutan. Beberapa penguasa lokal jugameninggalkan posisi mereka. Namun sepasukan ekspedisi Belanda yang relatif kecil berhasil mematahkan pemberontakan ini.

Pemimpin pemberontakan 1914 ialah Soeng Kap Sen, yang dilahirkan di Pakbulu Mempawah. Pada 1914 Soeng baru saja kembali ke Borneo setelah tinggal beberapa saat lamanya di Negeri Tiongkok. Setelah pemberontakan mengalami kegagalan, dia tidak pernah tertangkap, namun dia melarikan diri menuju Sarawak, barangkali ke Singapura. Sekalipun dikatakan bahwa dasar perjuangannya terinspirasi oleh gagasan nasionalisme Tionghoa, namun sebenarnya dia dan rekan-rekannya berpegang pada sumpah persaudaraan dalam mempersatukan para anggotanya. Mereka juga mengundang orang non-Tionghoa untuk bergabung dan menjalankan sumpah darah dan ikut serta dalam upacara pengukuhan, teknik berorganisasi seperti ini telah dipraktekkan orang Tionghoa dalam pemberontakan kongsi sebelumnya. Kepala klub membaca politik di Singkawang, Lim Moi Lioek, sangat diperhatikan Belanda sebagai orang yang bersimpati pada kaum pemberontak dan sebagai orang yang menggunakan kekuasaan ekonominya untuk mengacau kekuasaan kolonial.

De Vogel meyakini bahwa klub-klub membaca (Shubaoshe) adalah sebuah perkumpulan rahasia, dan pejabat urusan Tionghoa yang bernama Mouw, juga sepakat dengan penilaiannya tersebut. Mereka beralasan bahwa klub-klub membaca itu berhubungan dengan Tongmenghui, organisasi revolusioner Sun Yat-sen terdahulu, yang menggunakan metode persekongkolan perkumpulan rahasia. Penerus organisasi nasionalis seperti Guomindang juga merupakan perkumpulan itu, sesuatu yang masih dilarang keras di Hindia. Oleh karena itu, klub membaca dan kegiatan nasionalis Tionghoa lain, yang diyakini de Vogel terlibat dalam kerusuhan, harus dianggap illegal dan harus dihabisi. Klub membaca seperti itu sangat populer di kalangan para penduduk Hakka di Distrik Tionghoa, satu populasi yang juga sangat terpengaruh oleh nasionalisme Tiongkok kontemporer.

Sebuah keterangan menarik tentang pemberontakan ialah keterlibatan Sinolog Henri Borel yang pernah menjadi Pejabat Urusan Tionghoa di Pontianak 1908-1909, dan menjadi penyokong bagi kepentingan minoritas Tionghoa. Borel, yang menulis pada 1915 di Belanda, menentang birokrat-birokrat Belanda dengan mengatakan bahwa mereka menyalahgunakan revolusi Tiongkok sebagai penyebab kerusuhan ini. Efek nyata revolusi Tiongkok 1911 ialah untuk mendorong orang Tionghoa yang ada di Hindia untuk lebih percaya diri memperjuangkan hak-haknya dan lebih peka terhadap setiap kekeliruan, namun tidak berkecenderungan untuk mengarah kepada penggunaan kekerasan. Borel lahir di Dordrecht 1869, mengabdi selama lebih 20 tahun, dengan beberapa kali jeda, sebagai pejabat bahasa Tionghoa di Hindia, menjadi penasihat untuk urusan Tionghoa pada 1911. pidato-pidato dan tulisan-tulisannya yang berkaitan dengan masalah Tionghoa sangat populer di kalangan etnis Tionghoa, namun tidak demikian di kalangan pemerintah kolonial. Ia diberhentikan secara hormat dari tugasnya 1916 dan wafat di The Hague pada 1933.

Borel bersikeras bahwa perkumpulan rahasia bukanlah penghasut, sekalipun benar bahwa orang Tionghoa yang merasakanperlakuan tidak adil memang bergabung dengan kelompok ini. Menurutnya, kerja paksa dan kenaikan pajak yang menjadi pemicu masalah ini. Kerja paksa merupakan beban yang sangat berat dan sesungguhnya tidak diperlukan, jalan-jalan yang semula pendek dan sempit sekarang dilebarkan dan diluruskan tanpa adanya tujuan yang jelas. Karena itu, orang Tionghoa harus menghadapi tuntutan kerja paksa yang lebih besar, dan orang Dayak, dikaenakan perjanjian baru yang ditandatangani dengan para pemimpin pribumi, diwajibkan ikut kerja paksa untuk pertamakalinya. Dengan melihat kondisi ini, tidak mengejutkan lagi bila orang Tionghoa dan Dayak menentangpemerintah. Residen de Vogel memerintahkan orang Tionghoa untuk membangun dan memelihara ruas jalan di luar wilayah Distrik Tionghoa. Di tempat lain di Hindia, kerja paksa telah dihapuskan, sekalipun telah diperluas di Borneo Barat. Terlebih lagi, lanjut Borel, para pejabat baru menerapkan peraturan tentang sistem pemukiman di antara para petani Tionghoa, sebuah ketetapan yang tidak pernah diterapkan sebelumnya. Pemenuhan kerja paksa menjadi prasyarat untuk mendapatkan ijin tinggal di luar pemukiman. Semua ini diterapkan pada masa ketika harga untuk ekspor penting menurun, termasuk lada dan jalan yang baru dibangun akan memperbaiki kondisi ekonomi tidak dapat meyakinkan para korban dari kebijakan baru yang menindas itu. Corvee bukan hanya tenaga kerja yang tidak dibayar. Mereka juga harus membawa perbekalan sendiri. Orang kaya tentunya lebih memilih untuk membayar pajak daripada bekerja.

Pemberontakan 1914 ini berpusat di Mempawah, terutama daerah Anjungan-Mentidung, di dekat daerah perbatasan bekas kongsi lama Thaikong-Lanfang. Meski ada kabar angin yang memperkirakan bahwa gerakan perlawanan akan menyebar, dan adanya laporan yang menyebutkan bahwa penduduk yang ada di Sambas dan Pontianak kembali mencemaskan keselamatan mereka, namun nyatanya wilayah itu tidak terjamah. Wilayah Mandor juga aman, demikian halnya Monterado. Beberapa orang melarikan diri dari pasar Bengkayang, menduga akan timbulnya kerusuhan, namun sebuah rombongan pasukan berhasil menduduki kota itu tanpa kejadian, setelah itu para penduduk mulai kembali lagi.

Mungkin saja, Anjungan menjadi pusat pemberontakan karena pemimpin pemberontakan 1912, yaitu Soeng Kap Sen, tinggal di dekat Pakbulu. Apalagi, kota ini merupakan pintu gerbang menuju daerah pertanian dan pemukiman Tionghoa yang relatif makmur, terletak di persimpangan yang menghubungkan bekas wilayah kongsi. Ini semua menjadikan daerah ini sebagai wilayah yang strategis penting, seperti pada 1885, dan itu akan terjadi lagi. Pada September 1917, pemerintah akhirnya menarik kewajiban kerja paksa bagi etnis Tionghoa. Di masa depan, unit emerintahan daerah, [landsschappen daerah alam yang dalam prakteknya berarti wilayah penguasa, mereka ini tidak harus berada dalam bidang satu administrasi, namun memiliki kekuasaan anggaran dan sedikit pertanggungjawaban administrasi] harus membayar biaya konstruksi dan pemeliharaan semua ruas jalan. Namun orang Melayu dan Dayak diharuskan untuk bekerja tanpa dibayar secara harian. Hal ini berlangsung hingga Perang Dunia II.

Sekalipun kerja paksa telah dihapuskan dan aturan persyaratan pemukiman telah dikendurkan, informasi yang datang dari Kantor Urusan Tionghoa menyebutkan bahwa sistem pas jalan masih diberlakukan di Borneo Barat pada 1933. sebuah catatan menunjukkan penangkapan terhadap seorang Tionghoa terkemuka, yang disebabkan karena ia menempuh perjalanan tanpa membawa bukti identitasnya, gaung dari protes yang dilakukan sampai kepada Konsul Jenderal Tionghoa di Batavia. Sebagai tambahan, beberapa kepala tetap menolak untuk menerbitkan apa yang disebut kartu kampung, kartu identitas kecuali bila si pendaftar telah mebayarkan semua pajaknya. Setiap polisi bisa memeriksa kartu itu, dengan ancaman satu sampai tiga bulan penjara bila korbannya tidak bisa menunjukkan kartu yang diminta. Seorang pekerja miskin yang pergi mandi di kali tidak bisa membawa kartunya, tapi dia bisa didenda ataupun dipenjara kalau ditangkap tanpa kartu. Di Pontianak, ada seorang controleur yang bahkan memasuki rumah-rumah mencari penduduk Tionghoa yang tidak memiliki dokumen yang lengkap, dan bila ia menemukan ada penduduk yang tidak terdaftar, maka orang tersebut dituduh tidak membayar pajak. Ketentuan mengenai surat identitas ini telah mempengaruhi daerah pesisir barat sejak masa de Vogel, dan diterapkan pada penduduk pribumi juga. Hal ini mengingatkan pada penerapan peraturan penggunaan kartu identitas untuk mengawasi orang Tionghoa di Malaya selama keadaan darurat. Peristiwa ini barangkali serupa dengan yang ditujukan oleh anggota Mahkamah Rakyat, Tjia.

Perkumpulan masyarakat modern yang paling berpengaruh pada masyarakat adalah Siang Hwee atau Kamar Dagang. Perkumpulan didirikan di Pontianak pada 1908 dan setelah itu meluaskan sayap ke kota-kota lain. Berbagai macam cabang akhirnya membentuk federasi Kamar Dagang Tionghoa (Zhonghua Zongshanghui) yang bermarkas di Pontianak, di mana kamar dagang merupakan wakil dari kira-kira 40 persen dari semua perusahaan di kota tersebut, belakangan disebut singkatnya sebagai Zhonghua Shanghui [Kamar Dagang Tionghoa].

Kerusuhan 1914 sudah menjelaskan kegiatan dari organisasi komunitas Tionghoa yang berorientasi politik dan modern, Kamar Dagang yang tentunya juga lembaga perniagaan, dan klub-klub membaca politik (Shubaoshe) sekarang menarik perhatian negara kolonial. Kamar dagang menarik orang-orang perusahaan, sementara klub membaca mengumpulkan orang yang tertarik pada politik dan nasionalisme, termasuk pekerja dan pengusaha kecil. Penguasa kolonial tahu tentang klub membaca di Pontianak, Singkawang, Mempawah, Pakbulu, Mandor, Sungai Pinyuh, Monterado, Bengkayang, Capkala, Pemangkat dan Sambas, semua kecuali tiga terakhir dibentuk secara resmi di bawah hukum Belanda. Klub di Pontianak secara resmi dibentuk pada awal 1908, pada tahun di mana kamar-kamar dagang didirikan, tiga tahun sebelum pecahnya Revolusi Tionghoa 1911.

Di samping dari tujuan yang disebutkan untuk mendorong melek huruf dan tersedianya bahan bacaan berbahasa Tionghoa untuk masyarakat seluas-luasnya, klub membaca di Pontianak juga membantu berdirinya sekolah Tionghoa modern. Penguasa kolonial, yang mencurigai bahwa kegiatan klub membaca membuktikan makin bertambahnya watak proletar, dengan cepat mencatat bahwa anggaran dasar klub membaca menetapkan penyelenggaraan kewenangan di bidang hukum pidana, hal yang peka sejak penghapusan kongsi-kongsi, karena bisa menghidupkan kembali negara dalam negara yang mereka takuti. Pejabat urusan Tionghoa, yang berdinas di Pontianak pada waktu kerusuhan 1914, meyakini klub-klub ini sesungguhnya menjadi cabang Tongmenghui, yang dia percaya adalah perkumpulan rahasia dan sudah pasti ilegal [di samping pertanyaan mengenai kewenangan hukum, Belanda memahami klub-klub itu adalah organisasi politik asing, dan oleh karena itu peranakan dalam pengertian orang Tionghoa kelahiran setempat, tidak bisa menjadi anggotanya. Namun kenyataannya, banyak orang Tionghoa kelahiran Hindia yang menjadi anggota dan sampai-smpai menjadi pengurus. Adalah benar juga bahwa Kamar Dagang, yang fungsinya pada satu sisi adalah sebagai perwakilan kalangan Tionghoia perantauan di dalam Parlemen Tiongkok, di sisi lainnya adalah sebagai perwakilan pengusaha di Hindia, baik itu pendatang dan kelahiran setempat].

Setelah melakukan beberapa pembahasan, bagaimanapun, Belanda memilih membiarkan klub-klub itu dengan damai, dan ini kelihatannya adalah kebijakan yang pantas. Bertahun-tahun berikutnya, Belanda melihat dengan puas bahwa pengaruh dan pentingnya klub membaca Tionghoa telah berkurang, dan masyarakat ini tidak lagi tertarik pada politik nasionalis Tionghoa ketika kesulitan ekonomi berkembang di Borneo. Apalagi Tiongkok sendiri menjadi terbelah di dalam negerinya.

Belanda dapat hidup lebih mudah dengan adanya kamar dagang, yang menarik dukungan mereka karena kecenderungan dari para pengusaha berada yang lebih konservatif, walaupun tetap condong ke Tiongkok. Mereka ini memiliki hak untuk memilih perwakilan bagi lembaga politik di Tiongkok. Keikutsertaan dalam pemilihan di luar negeri, bagaimanapun dianggap illegal buat orang Tionghoa kelahiran Hindia, karena pemerintah kolonial menganggap mereka sebagai kaula negara Belanda [meskipun Tiongkok mengangap mereka sebagai warganegara Tiongkok]. Orang Teochiu dan beberapa orang Hokkien menjadi kebanyakan dari anggota Kamar Dagang, yang tersebar di banyak kota. Orang Hakka dilihat sebagai pendukung yang paling kuat dari klub membaca, contoh lainnya dari sikap politik radikal yang lebih besar dari orang Hakka. Tidak ada banyak kebersamaan di antara kedua organisasi ini, tapi keduanya jelas-jelas berorientasi ke Tiongkok dan urusan-urusan Tionghoa. Van Meteren Brouwer yang menjadi kepala pengelola bank kredit, mengatakan orang Tionghoa di pesisir barat mengirimkan f300.000 ke Tiongkok, sebelum kirim mengirim menjadi penting pada 1930-an.

GL Uljee dalam buku panduan keresidenannya, mengakui bahwa masalah dengan etnis Tionghoa yang muncul antara 1906, ketika sebuah perkumpulan rahasia ditemukan di Mempawah, dan pada 1914 sebagian merupakan cerminan nasionalisme Tionghoa, namun sebagian juga diakibatkan oleh campur tangan kolonial. Lebih dari itu, Uljee menyalahkan penduduk Hakka yang tidak tertib, yang membentuk populasi terbesar dalam Distrik Tionghoa yang membangkang. Uljee membandingkan penilaiannya untuk orang non-Hakka: orang Hoklo tidak pernah menentang pemerintah.

Cara pandang Belanda yang bercabang dua tentang masyarakat Tionghoa di Borneo telah mendarah daging dalam pengetahuan kolonial. Pemberontakan 1912-1914, sekalipun hanya sedikit berpengaruh, sekali lagi telah meyakinkan pemerintah bahwa orang Tionghoa Hakka adalah orang yang harus diawasi. Setelah pemberontakan itu, para polisi bersenjata, sebuah unit khusus yang dikirim ke wilayah pemberontakan yang mengancam setelah pasukan tentara telah ditarik, ditempatkan di Singkawang dan daerah sekitarnya, daerah pemukiman yang didominasi orang Hakka sampai 1926 untuk mendorong perdamaian.

*) Penulis peminat kajian kontemporer sejarah dan budaya Kalimantan Barat. Dari berbagai sumber, koleksi dokumen dan arsip tempo doeloe.

2 komentar:

  1. Great to see that someone still understand how to create an awesome blog. The blog is genuinely impressive in all aspects.
    poker online indonesia

    BalasHapus
  2. bangganya jadi cicit dri sung kap sen, btw dia lari ke singapura kata kakek ku (cucu dri sung kap sen) hehehe dan tidak pernah balik2 lgi ke pakbuku

    BalasHapus