Minggu, 14 Desember 2008

DI BAWAH CENGKERAMAN SAUDARA TUA
* RUNTUHNYA HINDIA BELANDA

KONFLIK KOLONIAL
Pada 10 Mei 1940, Hitler mengirim pasukannya untuk menyerang Negeri Belanda yang netral guna mengepung Prancis. Pada 14 Mei, di bawah ancaman serangan pasukan payung dan panzer Jerman yang didukung oleh Luftwaffe (angkatan udara Jerman), Ratu Belanda dan kabinet Perdana Menteri Dirk Jan de Geer mengungsi ke London. Keesokan harinya, Belanda menyerah dan diduduki Jerman Nazi setelah terjadinya pemboman dahsyat yang menghancurkan Kota Rotterdam. Jatuhnya Negeri Belanda ini menimbulkan goncangan dan tanda tanya besar mengenai nasib wilayah jajahannya, terutama Hindia Timur Belanda yang memiliki sumber kekayaan alam yang besar.

DI Hindia Belanda, berita mengenai penyerbuan dan pendudukan Negeri Belanda mengundang berbagai macam reaksi di kalangan penduduk negeri itu. Pada hari penyerbuan, Gubernur Jenderal Jhr Mr AWL Tjarda van Starkenborgh Statchouwer mengumumkan keadaan darurat bagi Hindia Belanda.

Jatuhnya Belanda ke tangan Nazi Jerman pada Mei 1940 membuka kembali harapan di kalangan para pemimpin pergerakan di Volksraad bahwa pemerintah Belanda akan memberikan beberapa konsesi. Akan tetapi, lagi-lagi mereka dikecewakan. Mereka hanya mendapat jawaban samar-samar dari van Starkenborg bahwa mungkin akan dilakukan beberapa perubahan setelah perang berakhir. Pada 14 September 1940, atas persetujuan pemerintah Belanda, dibentuklah Commissie tot Bestudeering van Staatsrechtelijke Hervormingeng (panitia untuk menyelidiki dan mempelajari perubahan-perubahan ketatanegaraan). Komisi ini diketuai Dr FH Visman sehingga kemudian dikenal dengan nama Komisi Visman.

Harapan akan terjadinya perubahan ketatanegaraan itu semakin sirna dengan adanya pidato Ratu Wilhelmina di London dan Gubernur Jenderal di Volksraad mengenai masa depan Indonesia yang akan dibicarakan setelah perang selesai. Akibatnya, timbul kekecewaan di kalangan tokoh pergerakan yang berorientasi internasional sehubungan dengan sikap pemerintah terhadap berbagai tuntutan mereka maupun Piagam Atlantik. Kekecewaan tersebut mempercepat menurunnya solidaritas Indonesia—Belanda dalam menghadapi ancaman fasisme. Pada gilirannya, hal itu membuat orang Indonesia termakan propaganda Pan-Asia Jepang yang menjanjikan pembebasan bangsa mereka dari cengkeraman orang kulit putih. (Din Osman)


JEPANG DAN HINDIA BELANDA
Keberhasilan modernisasi Jepang selama Restorasi Meiji bukan hanya menyebabkan negara tersebut berhasrat untuk menyaingi negara-negara Barat dalam hal teknologi. Namun juga dalam hal memperluas daerah kekuasaannya. Adapun ideologi dari nafsu ekspansi ini sendiri sebenarnya berasal dari ajaran kuno Jepang yang disebut sebagai Hakko Ichi-u (delapan benang di bawah satu atap). Intisari dari Hakko Ichi-u adalah pembentukan suatu kawasan yang didominasi oleh Jepang yang meliputi bagian-bagian besar dunia.

Kebijakan ekspansi Jepang untuk memenuhi ajaran Hakko Ichi-u, yang kemudian menimbulkan perang di Asia Pasifik, sebenarnya telah dimulai sejak zaman pemerintahan Kaisar Meiji. Pada 1894, Jepang menyerang Cina dan merampas Formosa (sekarang Taiwan). Kemudian, dalam Perang Rusia—Jepang 1904-1905, Jepang merebut Sakhalin dan Port Arthur. Lima tahun kemudian, negara matahari terbit itu menganeksasi Korea. Daerah kekuasaannya semakin meluas ketika setelah Perang Dunia I, Jepang yang berperang di pihak Sekutu, memperoleh sejumlah bekas wilayah jajahan Jerman di Cina maupun Samudra Pasifik..

Akan tetapi ambisi ekspansi Jepang tetap tidak terbendung. Pada 1929, pemerintah Jepang di bawah Perdana Menteri Baron Tanaka mengeluarkan sebuah memorandum rahasia, yang kemudian dikenal dengan nama Memorandum Tanaka. Memorandum tersebut menyerukan pembentukan suatu daerah jajahan besar yang akan menyediakan bahan mentah dan pangan bagi negeri Jepang yang berbentuk kepulauan dan berpenduduk padat dan akan merupakan tempat penyaluran penduduk yang berdesakan itu.

Dalam rencana ambisius tersebut, Cina merupakan kunci bagi ambisi Jepang untuk menguasai dunia. Adapun langkah-langkah ekspansi Jepang adalah: “…menaklukkan Cina, pertama-tama harus menguasai Manchuria dan Mongolia. Apabila berhasil menguasai Cina, negara-negara Asia lainnya akan segan kepada Jepang dan menyerah. Dunia kemudian akan mengerti bahwa Asia adalah milik Jepang dan tidak akan berani menentangnya. Dengan seluruh sumber-sumber Cina di tangan jepang, Jepang dapat bergerak untuk menguasai India, kepulauan Asia Pasifik, Asia Kecil, Asia Tengah, dan bahkan Eropa”.

Sesuai dengan isi Memorandum Tanaka, pada 1931 Jepang mencaplok Manchuria, sebuah daerah yang kaya batubara dan besi yang amat diperlukan oleh industrinya. Pada 1937 Jepang berhasil menguasai daerah-daerah pantai dan beberapa kota penting di Cina. Segera incaran mata Jepang terarah ke selatan, yaitu Indocina jajahan Prancis dan Hindia Timur jajahan Belanda.

Usaha Jepang untuk memastikan Hindia Belanda berada di bawah pengaruhnya sebenarnya telah berlangsung lama. Sejak 1930-an, beberapa perusahaan semi pemerintah di Jepang, seperti Nanjo Kohatsu, dengan dorongan dari pihak Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang, mendorong penanaman modal di Hindia Belanda secara lebih agresif dan intensif. Orang Jepang mulai membeli berbagai macam konsesi, dari penebangan kayu dan pertambangan hingga hak menangkap ikan. Para pengusaha Jepang juga membanjiri Hindia Belanda dengan barang-barang murah.

Setelah jatuhnya Negeri Belanda ke tangan Jerman Nazi, Jepang melakukan berbagai manuver diplomatik untuk memastikan pasokan barang-barang strategis tertentu ke Jepang tetap aman. Pada Januari 1941, Jepang kembali mengirim delegasinya di bawah pimpinan Yoshizaman Kenkichi. Delegasi ini menyampaikan tuntutan yang semakin agresif, seperti hak bagi Jepang untuk bergerak dengan bebas di wilayah Hindia Belanda, hak untuk mencari bahan tambang di seluruh wilayah Hindia Belanda, hak bagi kapal-kapal Jepang untuk bergerak bebas di perairan Hindia Belanda, impor barang dari Jepang ditingkatkan hingga 75 persen, dan ekspor minyak mentah dinaikkan dari 3,75 juta ton menjadi 3,9 juta ton. Ketika menyadari bahwa Hindia Belanda sebenarnya sedang diintimidasi agar tunduk di bawah dominasi Jepang, pemerintah kolonial Belanda akhirnya menolak permintaan Jepang tersebut.

Sikap permusuhan yang ditunjukkan oleh pemerintah kolonial Belanda itu menyebabkan Jepang memutuskan menguasai Hindia Belanda dengan kekerasan.

INVASI MILITER JEPANG
Dalam upayanya untuk merebut Hindia Belanda, Jepang telah membuat sebuah strategi penyerangan bercabang tiga. Di sebelah timur, mereka berencana bergerak memasuki kepulauan Maluku dan Timor, dengan begitu dapat memutuskan jalur komunikasi dan bala bantuan dari Australia. Di tengah, Kalimantan dan Sulawesi akan direbut, sementara di ujung barat kepulauan Hindia, Sumatra akan diserang jika kejatuhan Singapura telah dipastikan. Akhirnya, apabila seluruh sasaran ini telah diraih, seluruh pasukan akan dikerahkan untuk merebut Jawa, pusat pemerintahan Belanda sekaligus markas besar komando militer Sekutu di Asia Tenggara.

Pasukan penyerbu Jepangterdiri atas dua gugus penyerang yang sangat kuat, di sebelah timur dipimpin oleh Laksamana Muda Takahashi sementara di sebelah barat di bawah Laksamana Madya Ozawa, terdiri dari kapal-kapal penjelajah berat dan perusak yang mengawal iring-iringan kapal pengangkut pasukan yang dibayangi oleh kapal-kapal induk pimpinan Laksamana Nagumo. Ini merupakan payung udaranya. Kekuatan penyerbu itu menerpa wilayah Hindia Belanda seperti belalai dua ekor cumi-cumi raksasa. Cumi yang dibarat menuju Kalimantan Utara dan Sumatra melalui Laut Cina Selatan, sementara yang di timur bergerak menuju Kalimantan Timur, Sulawesi, Ambon, Timor dan Bali.

Serangan awal Jepang ditujukan ke Pulau Kalimantan yang kaya minyak. Pada 16 Desember 1941, pasukan Jepang mendarat di Miri di Kalimantan Utara, menusuk ke Serawak pada 24 Desember dan kemudian menerobos masuk ke Pontianak yang jatuh ke tangan mereka pada 28 Desember 1941. Pontianak sejak 19 Desember telah dihujani bom dari udara oleh Jepang dikenal luas dengan julukan Peristiwa Kapal Terbang atau Bom Sembilan. Sebuah pasukan Jepang lainnya mendarat di Tarakan dan berhasil merebutnya pada 11 januari 1942. Pada 25 Januari giliran kota Balikpapan yang jatuh ke tangan Jepang.

Setelah berhasil menancapkan kekuasaan di bagian utara, timur dan barat Kalimantan, pasukan Jepang bergerak ke selatan untuk menghancurkan sisa-sisa pasukan Sekutu di pulau tersebut. Samarinda direbut 3 Februari, diikuti oleh jatuhnya Banjarmasin ke tangan Jepang lima hari kemudian. Operasi militer Jepang di Kalimantan baru berakhir setelah jatuhnya Kotawaringin di pantai selatan pada 7 Maret 1942. Bersamaan dengan serangan terhadap Kalimantan, Borneo ketika itu, pasukan Jepang lainnya menyerbu bagian timur kepulauan Hindia. (Din Osman)

RUNTUHNYA HINDIA BELANDA
Pada pertengahan Februari 1942, pusat pertahanan dan pemerintahan Belanda di Pulau Jawa praktis telah dikepung oleh Jepang, yang berhasil menduduki bagian selatan Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Bali. Satu-satunya garis perbekalan Jawa yang belum diduduki oleh Jepang adalah Australia. Namun pesawat-pesawat terbang Jepang kemudian melancarkan serangan terhadap pelabuhan Australia yang terdekat dengan Jawa, yaitu Darwin. Akibatnya, kapal-kapal Sekutu kemudian ditarik ke pelabuhan-pelabuhan yang lebih aman sehingga akhirnya Jawa benar-benar terisolasi.

Pada 8 Maret 1942, Letnan Jenderal Ter Poorten, selaku panglima tentara Sekutu di Hindia Belanda, akhirnya menandatangani dokumen penyerahan kepada Letnan Jenderal Imamura di lapangan terbang Kalijati Jawa Barat ketika itu. Seluruh Hindia Belanda telah ditaklukkan oleh Jepang, dan hampir 100.000 orang Eropa dimasukkan ke kamp-kamp tawanan. Dalam waktu tiga bulan, Belanda kehilangan suatu wilayah jajahan yang telah dikuasainya selama ratusan tahun. Indonesia pun memasuki babak baru dalam perjalanan sejarahnya.

Panglima pasukan Jepang di Jawa, Jenderal Imamura, pada 20 Maret mengeluarkan maklumat yang melarang kegiatan berserikat dan berpolitik. Lagu Indonesia Raya pun kemudian dilarang dinyanyikan dalam setiap pertemuan atau upacara apa pun. Sebagai gantinya, mulailah didengungkan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo. Lagu ini wajib dinyanyikan di sekolah-sekolah dan dalam setiap kesempatan upacara. Bendera merah putih yang semula mulai dikibarkan juga segera lenyap dari peredaran dan digantikan oleh bendera Jepang, Hi-no Maru. (Din Osman)

KAPAL TERBANG SEMBILAN
Balatentara Jepang mulai menduduki Kalimantan Barat melalui Kota Pontianak sejak Jumat tanggal 19 Desember 1941 pukul 11.00 tengah hari. Hari itu sebagian kaum muslimin tengah sholat Jumat. Jepang membom secara brutal, banyak warga sipil dan anak sekolah yang jadi korban. Pemboman daerah Kampung Bali itu oleh banyak saksi mata dikatakan salah sasaran. Yang dituju pesawat pembom Jepang itu Tangsi Militer Belanda yang ada di hadapannya.

Selanjutnya berturut-turut 19, 22 dan 27 Desember 1941 Kota Pontianak terus menerus dihujani bom sehingga menghanguskan Kampung Bali dan Parit Besar serta bagian wilayah kota lainnya. Kapal Lien dan Irma milik Pontianak River Transport Dient yang merupakan angkutan andalan sungai pada masa itu dibom tenggelam di Sukalanting sekitar 30 Km dari Kota Pontianak. Kapal Sri Kapoeas dan West Borneo tidak diketahui nasibnya. Demikian pula kapal swasta Kong Neng, Kong Fa dan lainnya yang berlayar hingga Putussibau.

Sejumlah sembilan unit pesawat tempur menderu-deru. Kesembilan pesawat itu masing-masing jenis A6M2 Zero yang bertolak dari pangkalan Davao di Mindanao Selatan yang baru ditinggalkan pasukan Amerika. Peristiwa ini dikenal luas kemudian dengan Peristiwa Bom Sembilan atau Peristiwa Kapal Terbang Sembilan. Serangan atas Pontianak dan sekitarnya itu didahului pesawat pengintai C5M2, juga buatan Mitsubishi, satuan pesawat Zero terbang dari Sarawak ke arah Kota Pontianak.

Armada Angkatan Laut Dai Nippon (Kaigun) mendarat di perairan utara Kalimantan Barat di Pemangkat lewat Tanjung Kodok pada 22 Januari 1942. Sedikitnya berjumlah 3.000 orang, mereka berasal dari Sarawak yang merupakan kesatuan tempur dari Pasukan ke-29. Pendaratan itu tidak mendapat hadangan dari tentara Belanda yang sudah kocar-kacir. Meski sempat bertahan di kawasan Gunung Pendering 45 Kilometer arah timur Singkawang. Hampir waktu bersamaan di tempat terpisah, pendaratan itu terjadi pula di Ketapang.

Belanda punya perhitungan lain, membumihanguskan beberapa kota sebelum ditinggalkan, seperti Sambas, Mempawah dan Landak Ngabang.
Dalam perkembangan begitu cepat, Setelah Pemangkat dan Singkawang direbut dan dukuasai, dari sini balatentara Jepang membagi dua kekuatan pasukan militernya. Sebagian bergerak ke arah selatan bergabung dengan pasukan yang telah mendarat lebih dahulu di muara Sungai Kapuas, bagian ini kemudian merebut dan menguasai Kota Pontianak sepenuhnya sejak 2 Februari 1942. Dan bagian keduanya, bergerak ke arah timur tujuan merebut pangkalan udara Sanggau Ledo Singkawang II. Setelah pangkalan udara ini direbut, lumpuhlah kekuatan udara Belanda. Bahkan seluruh kekuatan militer dan kekuasaannya di Kalimantan Barat berakhir.

Awal Februari 1942 Pontianak sepenuhnya diduduki Jepang tanpa perlawanan. Tentara KNIL pimpinan Overste Mars sebelumnya mengundurkan pasukannya ke Nanga Sokan Afdeling Sintang untuk bergabung dengan KNIL di Banjarmasin. Di sana merencanakan bertahan di Gunung Kerihun hulu Kapuas di bawah pimpinan Gubernur Borneo Dr BJ Haga yang telah menyingkir ke pedalaman. Pada 15 Februari Jepang menguasai Banjarmasin, sehingga rencana pemusatan kekuatan di Gunung Kerihun yang strategis di jantung Pulau Borneo tak direalisasikan. Bahkan seluruh KNIL ditawan serdadu Jepang dan dikirim ke rumah penjara Kuching Kamp di Sarawak.

Militer Belanda diperkuat sedikit pasukan KNIL di Pontianak, sebagian melarikan diri ke Ngabang arah timur kota ini. Waktu itu Ngabang telah diduduki Jepang, meski pasukan Jepang yang ada belum dalam jumlah memadai. Menghindari pertempuran dengan Jepang, pasukan Belanda meneruskan pelarian ke Sanggau Kapuas, seterusnya ke Melawi dan Kotabaru Sintang. Akan tetapi sebelum melarikan diri, mereka lebih dahulu menghancurkan jembatan Ngabang yang terkenal besar dan megah di atas Sungai Landak dengan dinamit. Jembatan ini saat diledakkan belum setahun peresmiannya oleh Gezagghebber van Landak AB Fabber dalam Juli 1941.

Gerak cepat menuju Pontianak, Pasukan ke-29 balatentara Jepang Dai Nippon dari Sarawak menangkap lima orang pejabat tinggi pemerintah Hindia Belanda di Mempawah. Seorang di antaranya, Controleur Mempawah Jan van Appel langsung dipenggal kepalanya. Sedang empat orang lainnya ditawan ke Pontianak. Di Pontianak, dua orang tawanan merupakan pegawai bank pemerintah Hindia Belanda mengalami nasib yang sama serupa Appel. Disaksikan massa rakyat di pelabuhan Theng Seng Hie tepi Sungai Kapuas Pontianak yang tidak jauh dari Gedung Jacobson van den Berg, keduanya tewas. Sedangkan Dr AJ. Knibbe Controleur Pontianak ditawan, di kamp militer bekas KMK Belanda mendapat penyiksaan berat.

Saat Kalimantan Barat mulai diduduki Jepang, kekuatan militer Belanda sudah tidak seberapa besar untuk ukuran pertahanan daerah. Seluruh kekuatan militer Belanda saat itu 700 personil. Awal Desember 1941, memperkuat posisi ini sekaligus untuk mempertahankan Kalimantan Barat, dari Jawa dikirim delapan brigade di bawah komando Overste Gortmans menggantikan Overste Marks yang sebelumnya selaku Komandan Teritorial. Gortmans mengarahkan pertahanan pasukan ke daerah Sanggau Ledo dan Seluas.

Hingga akhir kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda dalam 1941, kekuatan militer Belanda di sekitar satu batalyon di bawah pimpinan Overste Marks. Masing-masing dengan kekuatan Kompi 1 dipimpin Kapten Martin di Pontianak, Kompi 2 dipimpin Kapten van Sprio di Sintang, Kompi 3 dipimpin Kapten de Houde di Singkawang dan Kompi 4 dipimpin Kapten Touwen di Ketapang. Menjelang pecah Perang Dunia II, kekuatan tersebut ditambah pasukan artileri, kaveleri dan korp kesehatan yang khusus didatangkan dari Jawa.

Adapun yang didatangkan dari Sumatera terdiri dari pasukan Grilya Istimewa satu peleton serta tambahan tenaga lainnya dipimpin Overste Kortman. Dislokasi pasukan diperluas meliputi Ketapang, Sukadana, Ngabang, Nanga Tayap, Sintang, Bengkayang, Pemangkat, Sambas, Sanggau Ledo dan Pontianak. Kekuatan senjata militer Belanda masing-masing 1 Peleton Penangkis Serangan Udara terdiri 3 unit 12,7 dan 2 unit meriam kecil lapangan, 1 Kompi Bantuan Anti Tank dan senapan mesin berat serta 1 Kelompok Kendaraan Lapis Baja. (Din Osman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar