Minggu, 28 Desember 2008

ELIT TIONGHOA KALBAR DI MASA KOLONIAL BELANDA
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

Sepanjang masa kolonial, Belanda seringkali menamakan sebagian orang Tionghoa di Borneo Barat sebagai peranakan, yang mereka maksudkan sebagai kelahiran setempat. Pembedaan ini penting karena secara hukum orang Timur Asing yang lahir di Borneo, dalam kasus ini Tionghoa, dianggap kaula negara Hindia Belanda, dari manapun asal mereka. (Willmott, 1961: 13-15) Sebelumnya mereka didefinisikan sebagai warganegara, kemudian sebagai orang asing. Undang Undang 1910 membedakan antara warganegara dan kaula negara di antara penduduk Hindia, orang Tionghoa kelahiran setempat adalah kaula negara.

Di pertengahan abad ke 19, menurut laporan dari zaman itu, beberapa orang Tionghoa terkemuka fasih berbahasa Melayu. Ternyata, orang-orang ini tinggal di kota kesultanan seperti di Pontianak dan Sambas yang berada di bawah pengaruh Melayu. Laporan dari abad ke 20 menunjukkan bahwa di daerah pesisir, kebanyakan laki-laki Tionghoa berbicara bahasa Melayu, tapi ini tidak terlihat demikian di Singkawang (ARA 2.10.39 MvO KIT 990). Bahasa Melayu selalu dikebelakangkan oleh bahasa Tionghoa di Kota Singkawang dan Pemangkat.

Bahasa Melayu tidak pernah dipakai sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) di Distrik Tionghoa, melainkan bahasa Hakka. Atau orang Tionghoa Borneo Barat sangat sedikit menggunakan bahasa Melayu, lebih ke Chaozhou atau mereka berbicara Hakka. Dalam peranan mereka sebagai pedagang dan pemilik perusahaan, banyak orang Tionghoa menemukan keperluan mempelajari bahasa kedua. Pada abad ke 20, di Landak kebanyakan peranakan Tionghoa menggunakan dua bahasa dan berbicara bahasa Melayu, sedangkan yang lain, aktif di pedalaman, bicara bahasa Dayak. Banyak orang Tionghoa yang pindah ke pedalaman adalah pendatang baru di Borneo. Gambaran anonim tentang Landak, kira-kira 1930, orang Dayak tidak hanya belajar bicara Hakka, beberapa dari mereka memakai kalender Tionghoa. Dan tentu saja banyak orang Dayak juga berbicara bahasa Melayu.

Sejak masa awal VOC, Belanda telah berhubungan dengan para penduduk Tionghoa di Hindia dengan menunjuk para opsir Tionghoa sebagai para perantara, yang dimulai dengan kapitan-kapitan Tionghoa pertama di Batavia. Belanda juga menerapkan sistem yang sama ketika mereka tiba di Borneo Barat. Orang Eropa yang mampu berbahasa Tionghoa baru tersedia dalam birokrasi pada paruh kedua abad ke 19, sehingga komunikasi antara orang Belanda dan orang Tionghoa sebelum masa itu dilakukan dengan bantuan para juru tulis dan penerjemah Tionghoa atau para opsir Tionghoa yang bisa berbahasa Melayu. Salah seorang di antaranya ialah Lim A Moy, seorang penerjemah untuk Sambas, yang telah melayani pemerintah selama dua puluh tahun sebelum dipensiunkan pada 1856. (Laporan Administrasi, 1856, ANRI BW 3/12)

Di Pontianak pada abad ke 19, para opsir Tionghoa ditunjuk dan bekerja sebagai perantara antara pemerintah Hindia Timur Belanda dengan minoritas Tionghoa, seperti halnya juga di daerah Jawa. Hanya sedikit yang diketahui tentang para opsir itu sebelum 1838 (Heidhues, 2008: 178), walaupun keberadaan mereka tidak dipungkiri. Pada tahun itu, tiga orang kapitan Tionghoa untuk Pontianak dimasukkan dalam daftar pejabat: Hong Tjin Nie (kapitan besar atau kapthai), Lim Nie Po (kapitan tommonggong atau temenggung dalam pengertian jabatan Melayu), dan Kwee Hoe Toan (kapitan salewatan atau salawatang, maknanya tidak diketahui). Meskipun gelar mereka tidak dijelaskan, diketahui bahwa masing-masing dari mereka bertanggung jawab atas tiga komunitas besar yaitu Teochiu, Hakka dan Hokkien. Hong Tjin Nie, sang kapthai, berasal dari komunitas yang terbesar, yaitu Teochiu. (Laporan Politik 1856, ANRI BW 1/7: Tidak ada tradisi memisahkan para petugas berdasarkan kelompok perbedaan bahasa di Jawa, di mana orang Hokkien mendominasi hingga abad ke 20).

Seorang yang tipikal sebagai opsir sukses di zaman itu adalah Kwee Hoe Toan. Orang Tionghoa Hokkien ini, pada 1838 telah berpangkat sebagai kapitan, naik menjadi kapitan besar pada 1845 dan akhirnya dipromosikan menjadi majoor pada 1859. meski orang Hokkien adalah kelompok terkecil dari tiga kelompok besar di Pontianak, Kwee diangkat sebagai perwakilan dari semua kelompok, hal ini mungkin disebabkan karena ia nampak lebih cocok dengan para pejabat kolonial yang telah terbiasa dengan orang Hokkien di Jawa. Kwee jugalah yang memberi saran-saran pada pemerintah selama melakukan perundingan dengan Thaikong. Dia merupakan salah seorang Tionghoa terkaya di Borneo (Konferensi Orang Tionghoa di Pontianak, 1852-53. Kwee dan Kapitan Lay A Tjhok (atau A Tjhioh) adalah pengamat saat terjadi negosiasi dengan para perwakilan kongsi pada Desember 1852 dan Januari 1853) (ANRI BW 31/8—87).

Pada 1856 dia menjadi penjamin pacht candu, sebelumnya ia sendiri adalah pemegang pacht itu. Belanda menganggapnya dapat dipercaya dan diandalkan, namun rakus. Dia merupakan orang terpelajar. Sekalipun lahir dan dibesarkan di Borneo, dia bisa membaca, menulis dan berbicara berbagai bahasa Tionghoa yang berbeda. Overste Le Bron de Vaxela, yang memimpin perang melawan Monterado, menahan Kwee 1851 dan memenjarakannya selama dua bulan karena dia telah mengirimkan candu ke Sungai Pinyuh dan Mempawah. Penangkapannya tidak berdasarkan hukum, sebab Kwee sebagai pachter candu, melakukannya secara sah.

Namun meski telah diperlakukan tidak adil oleh pemerintah dan kehilangan banyak harta selama ditangkap, Kwee tetap menjalankan tanggung jawabnya sebagai majoor hingga 1862 (Heidhues, 2008: 179). Tahun berikutnya, putra Kwee yang bernama Kwee Kom Beng, muncul dalam catatan menjadi kapitan dan berkantor sampai diberhentikan pada 1880. kwee muda berulang kali disebut lebih Melayu daripada Tionghoa, sesuatu yang tidak merupakan kualifikasi untuk menjadi opsir Tionghoa, dan ia dikenal sangat dekat dengan istana Pontianak (Laporan Politik 1866, ANRI BW 2/4—224).

Keluarga Kwee akhirnyamengalami kejatuhan pada masa-masa sulit. Kwee Hoe Toan dan seorang kapitan Hakka, Then Sioe Lin, terlilit hutang pada pemerintah sebagai akibat dari keterlibatan mereka dalam pacht candu pada 1850-an, suatu dekade ketika perdagangan madat hancur lebur akibat penyelundupan dan kemerosotan dalam penambangan emas. Nasib keluarga ini semakin terpuruk pada 1880, ketika Kwee Kom Beng diberhentikan dari jabatannya. Situasi keuangan Lioe A Sin, sang kapthai Lanfang, juga mengalami kemunduran karena berspekulasi dalam pacht candu. (Laporan Politik 1859, ANRI BW 1/10). Kesempatan bagi orang Tionghoa untuk meraup peruntungan besar dan mungkin pengaruh dari perdagangan candu nampaknya semakin berkurang karena monopoli tersebut mengalami kemunduran pada paruh kedua abad ke 19.

Seperti halnya Kwee, Then Sioe Lin juga ditunjuk untuk menjadi opsir setelah berhasil membuktikan kemampuannya sebagai pengusaha dan pedagang. Then Sioe Lin menjabat sebagai kapitan Hakka di Pontianak 1853-1877. dengan kekayaannya ia pun terjun dalam perdagangan dan monopoli-monopoli, bersama Kapthai Lioe A Sin dari Mandor, yang juga adalah saudara iparnya. Kedua orang ini memiliki usaha yang sama, dan sekalipun pemerintah telah mengenal kecerdasan dan jasa-jasa baiknya, kemodernan dan sifat periang (vrolijk van aard) dari Then Sioe Lin, mereka juga tahu ia selalu mementingkan diri sendiri. Ketika Kapitan Eng Tjong Kwee dari Monterado wafat di akhir 1850-an, pemerintah menunjuk seorang sanak keluarga dari Then Sioe Lin, Lioe Tjong Sin menjadi penerus Eng sebagai kapitan atau wakil regent di bekas wilayah Thaikong. Hal ini terlihat jelas sebagai upaya untuk meningkatkan pengaruh orang Tionghoa non-kongsi di sana, apalagi ketika itu Tjang Ping masih menjadi kapthai regent.

Setahun setelah penunjukkan Lioe Tjong Sin sebagai kapitan di Monterado, Tjang Ping tiba-tiba disingkirkan, dipensiunkan dari jabatannya dan diminta untuk pindah ke Pontianak, karena ia dicurigai terlibat dalam percobaan pembunuhan Lioe. Dua tahun kemudian, Tjang direhabilitasi, diberikan gaji sebesar 100 gulden per bulan, namun tidak diizinkan untuk melanjutkan masa jabatannya sebagai kapthai Monterado dan jabatan itu dihapuskan. Arus kini berbalik: Lioe dihukum selama lima belas tahun kerja paksa atas rangkaian tuduhan palsu terhadap Tjang, sekalipun hukuman itu kemudian dibatalkan. Di saat yang bersamaan, beberapa laothai juga diberhentikan dari jabatannya karena berkelakuan buruk. Bukan Tjang, tetapi Lioe yang mengawali persekongkolan, rupanya ia berharap dapat mengambil alih posisi kapthai. Lioe, sebagai kerabat Then, mungkin berasal dari keluarga Lioe A Sin dari Lanfang, di mana Then terhubung melalui adik perempuannya. Kasus ini menunjukkan betapa rapuhnya kemampuan Belanda yang dikarenakan ketiadaan orang yang berkemampuan bahasa Tionghoa.

Seusai pembubaran Thaikong dan Samtiakioe, dan dengan meluasnya migrasi orang Tionghoa ke daerah pedalaman, pemerintah kolonial merasakan kebutuhan lebih banyak petugas untuk mengawasi para pemukim Tionghoa yang tinggal di luar kota-kota utama. Ketika Kongsi Lanfang dibubarkan pada 1884, kongsi terakhir yang menghilang, Belanda menemukan pentingnya menyusun sebuah susunan hirarki baru dari para opsir Tionghoa tersebut untuk membantu memerintah daerah luas yang tadinya dipimpin oleh kongsi. Pemerintahan yang baru awalnya terlihat menyerupai kongsi. Di bawah Belanda, terdapat kapitan (namun bukan kapthai) yang bertugas di seluruh wilayah Lanfang. Laothai ditempatkan di pemukiman yang lebih kecil, dan untuk desa-desa atau tempat hunian lain dinamakan kaptjong (mungkin jiazhang dalam Bahasa Mandarin).

Beberapa pejabat di Borneo Barat digaji, sementara lainnya tidak. Di bekas wilayah Thaikong dan Samtiaokioe, kapitan, laothai dan para opsir yang setingkat lainnya menerima gaji. Di Pontianak, Mempawah dan Sambas, para kapitan tidak digaji. Walaupun digaji, jumlahnya terlalu kecil dan tidak menentu, dan tentu saja tidak akan bisa membuat para opsir tersebut menempatkan kepentingan Belanda sebagai prioritas utama. Para opsir yang menerima gaji sering merasa perlu menyewa orang polisi dari pendapat memadai mereka. Dua kapitan yang tidak digaji, terlalu miskin untuk mampu memenuhi tuntutan kantor, yaitu Lay A Tjhok, orang Hokkien dari Pontianak dan rekannya Liao Kang Sing dari Sambas, menerima bonus keuangan dalam bentuk garam gratis dari monopoli garam pemerintah. Mereka dapat menjual kembali garam tersebut untuk memenuhi dana yang dibutuhkan. Hadiah yang sama dengan 150 pikul garam diberikan kepada kapitan Sambas (Laporan Politik 1857, ANRI BW 1/8). Akhirnya, setelah 1862, kapitan diberi jaminan hak untuk memungut pajak kepala di wilayah mereka dan mendapat bagian sebesar sepertiga dari hasilnya, demikian pula dengan cukai yang ditarik dari para imigran Tionghoa yang ingin kembali ke Tiongkok, sebagai hadiah atau pembayaran atas penampilan yang memuaskan dalam tugas (Besluit Nomor 1, 3 Agustus 1862).

Terutama di tahun-tahun awal perluasan wilayah, ditemukan bahwa banyak opsir Tionghoa yang dipilih oleh Belanda ternyata tidak cakap. Menemukan seorang Tionghoa berpengaruh yang bisa berkomunikasi dengan orang Belanda dan dengan masyarakat Melayu setempat tidak selalu mudah. Nampaknya orang Tionghoa yang tinggal di bekas daerah kongsi, termasuk Singkawang, tidak begitu menguasai bahasa Melayu, tidak seperti rekan mereka di Pontianak dan Sambas, yang biasanya sangat fasih berbahasa Melayu. Phong Seak kapitan Singkawang diminta untuk mengundurkan diri dari kantornya pada 1856 karena dia tidak mengerti bahasa Melayu. Beberapa opsir yang ditunjuk Belanda terlalu bodoh atau terlalu tamak, yang lainnya sama sekali tidak menunjukkan kesetiaan pada pemerintah kolonial, sementara yang lainnya merasa takut dengan orang yang sebetulnya mereka harus kuasai. Sekali mereka menempati sebuah jabatan di birokrasi, para opsir Tionghoa tersebut sering mendahulukan kepentingan pribadi mereka yang menyebabkan kerugian bagi pihak pemerintah, penduduk Tionghoa atau kedua pihak itu.

Seorang opsir didapati bersalah telah menganiaya sejumlah pemukim Tionghoa namun pemerintah Belanda tetap mengijinkannya untuk bertugas sebab mereka tidak bisa menemukan penggantinya. Pada 1872, keluhan atas para opsir terutama pada opsir berjabatan rendah mulai meningkat. Orang Tionghoa yang memenuhi syarat menghindari posisi yang tidak mendatangkan uang. Pada 1881 karena sulitnya menemukan kandidat, maka pemerintah menawarkan gaji sebesar f600 hingga f1200 per tahun, namun untuk menghemat uang maka jumlah opsir dikurangi. Hal ini mengacu kepada permasalahan berkenaan dengan dimulainya aturan pajak yang baru pada 1878-79. tawaran ini sama sekali tidak menarik calon-calon terbaik dan tidak memberikan wibawa kepada opsir yang ditunjuk. Pekerjaan yang ditawarkan bisa membahayakan nyawa seperti yang terjadi pada 1912, ketika para pemberontak menyerang sejumlah opsir, beberapa minggu setelah itu mereka membakar rumah kapitan di Monterado.

Sulit untuk melacak riwayat kerja para opsir, bahkan yang paling terkemuka sekalipun yang ditunjuk setelah pemberontakan pada 1912-1914. selama masa pemerintahan Residen H de Vogel, nama-nama opsir Tionghoa di Borneo Barat tidak tercatat di dalam almanak resmi (Regeringsalmanak), sekalipun hal ini di keresidenan yang lain dibuatkan daftarnya. Beberapa catatan tentang para opsir terkuak ke permukaan pada pertengahan 1920-an, dalam Handboek voor de Residentie Westerafdeeling van Borneo yang menunjukkan bahwa pada 1925 ada 14 kapitan dengan masa dinas yang berbeda-beda, dua di antaranya bekerja sejak 1901, dan dua lainnya ditunjuk pada 1923. Hanya satu kapitan yang berkantor di Pontianak, yaitu Tjia Tjeng Siang, yang ditunjuk pada 1911, pada 1930 dia muncul dalam almanak sebagai majoor kehormatan.

Tahun berikutnya sampai 1942, para opsir utama untuk Borneo Barat didaftarkan dalam Regeringsalmanak. Pada 1930 hanya ada tiga kapitan: Singkawang, Pemangkat dan Monterado, 16 laothai dan 12 kaptjong. Pada 1942 ada 8 orang kapitan yang ada diperkampungan-perkampungan besar. Kwee Eng Hoe yang nampaknya memiliki hubungan dengan marga Kwee di ibukota, adalah kapitan di Pontianak mulai 1933 hingga pendudukan Jepang. (Alasan keksongan ini tidak begitu jelas. Barangkali ini adalah pembalasan dendam Vogel atas pemberontakan. Pada 1942 kapitan yang ada di Pontianak, Singkawang, Pemangkat, Monterado, Bengkayang, Sambas, Mempawah dan Sungai Pinyuh, menggambarkan betapa pentingnya komunitas Tionghoa di kota-kota ini. Para majoor kehormatan dan pejabat lain dengan gelar kehormatan tidak ada lagi. Pada 1930-an opsir Tionghoa telah dihapuskan di Jawa)

Setelah 1921, jumlah opsir Tionghoa yang menduduki jabatan di pemerintahan dikecilkan dua kali. Gaji para kepala kini makin menurun hingga mereka harus mencari pekerjaan lain agar bisa menyambung hidup, dan pada 1930-an ketika Depresi melanda, kebutuhan mereka akan uang bersaing bahkan sering mengalahkan tugas-tugas kepemerintahan. Emnurut sumber-sumber resmi, jumlah pajak yang dikumpulkan oleh lima kepala orang Tionghoa pada 1931, kurang f24.000 dari yang seharusnya. Laporan itu mengisyaratkan para kepala telah menyembunyikan sisanya. Para opsir Tionghoa secara umum memandang diri mereka sebagai bagian dari komunitas, bukan dari pemerintahan, dan kebanyakan di antaranya mungkin adalah anggota Guomindang (Partai Nasionalis Tiongkok didirikan Sun Yatsen). Pemimpin yang tidak memihak dan berkemampuan sangat jarang ditemukan di antara para opsir Tionghoa.

Sekalipun mungkin berpihak dan tidak berkemampuan, namun para opsir Tionghoa merupakan penghubung yang penting bagi pemerintah Belanda yang kebanyakan tidak bisa berkomunikasi dengan komunitas berbahasa Tionghoa. Di samping para juru tulis-penerjemah keturunan Tionghoa, hanya para opsir Tionghoa yang bisa berkomunikasi baik ke masyarakat Tionghoa maupun dengan pemerintah Belanda dan berkesempatan untuk mengambil keuntungan dengan memanipulasi informasi yang mereka sampaikan untuk keuntungan pribadi sendiri. Baru sekali pada 1860, sebagaimana yang tercatat, datang seorang penerjemah Eropa yang bergabung dengan pemerintah di Pontianak. Para penerjemah ini atau yang kemudian disebut Pejabat Urusan Tionghoa, diharapkan dapat memberi pandangan kepada pemerintah mengenai masyarakat dan politik orang Tionghoa dengan terbeas dari kepentingan lokal. Sayangnya bagi pemerintahan, meskipun orang-orang Eropa berkemampuan, masa tugas mereka di keresidenan umumnya terlalu singkat sebelum pindah ke tempat tugas yang lain.

M von Faber menjadi penerjemah bahasa Tionghoa pertama di Pontianak. Pada 1862 von Faber bergabung dengan Gustaaf Schlegel sebagai penerjemah di Pengadilan Tinggi di Batavia. WP Groeneveldt menduduki jabatan itu Agustus 1864 hingga 1871, ketika posisi tersebut kosong setelah ia pindah ke Padang. De Groot ditempatkan pada posisi tersebut dari 1880 hingga Maret 1883. di antara yang lainnya, Sinologis dan penulis Henri Borel juga menghabiskan waktu di Pontianak, namun tidak ada satupun yang memiliki keteguhan hati seperti Groeneveldt. Setelah 1930, dua orang etnis Tionghoa juga bekerja sebagai penerjemah untuk kantor intelijen politik (Politieke Rechersche). Pekerjaan mereka dimuat dalam survei-survei rutin terhadap kegiatan politik di keresidenan ini.

Bila orang yang ditunjuk tidak sesuai, maka kesalahan tidak hanya bisa ditimpakan pada orang Tionghoa. Pemerintah kolonial khawatir bahwa pemimpin yang betul-betul populer akan tidak setia atau tidak bisa dipercaya. Berdasarkan alasan ini mereka tidak menunjuk orang itu atau tidak menaikkan gengsi atau gaji orang yang telah direkrut. Belanda tidak memiliki uang cukup dan tidak ingin membayar cukup orang ini. Mereka bisa saja menegaskan kekuasaan atas para pemukim Tionghoa, namun mereka sulit melakukannya.

Ada beberapa bukti terjadinya ketegangan di antara pendatang Tionghoa dan peranakan, setidaknya dari abad ke 19. pada 1873, laporan tahunan untuk Borneo Barat mencatat ada permusuhan berkelanjutan di Pemangkat di antara dua kelompok ini. Ketegangan ini berakibat terjadinya sejumlah perkelahian dan menyebabkan beberapa orang terluka (lihat Koloniaal Verslag, 1878: 23). Orang Tionghoa suatu waktu menyebut orang peranakan sebagai petompang (Mandarin: bantangfan) karena keturunan campuran mereka, dan mereka yang disebut oleh Belanda sebagai peranakan karena mereka kelahiran setempat kelihatan mengangap dirinya berbeda dari pendatang Tionghoa. Dan bahkan di masa kongsi, diperlakukan dengan lebih dipercaya dan keakraban oleh penguasa kolonial dan elit Melayu dibandingkan dengan kebanyakan pendatang Tionghoa.

Seorang perempuan peranakan yang menonjol adalah Then Sioe Kim, janda dari Lioe A Sin dari bekas Kongsi Lanfang. Pada 1887, penguburannya di Pontianak membuktikan hubungan baik antara dia dan kongsi dengan pusat kekuasaan di wilayah tersebut. Sebagai seorang perempuan Hakka kelahiran setempat yang menikahi Kapthai Lioe pada 1850, dia saudara perempuan Then Sioe Lin seorang kapitan di Pontianak, dia disebut-sebut memahami cara pikir orang Eropa lebih baik dari kebanyakan orang Tionghoa. Then Sioe Kim telah mencoba, setelah pembubaran kongsi pada 1884, untuk memperundingkan antara Belanda dan para pemarah dari mantan kongsi yang telah membunuh seorang controleur Belanda.

Tidak hanya masyarakat Tionghoa yang ada di Mandor yang memadati penguburannya, pimpinan tertinggi sipil dan militer kolonial juga menghadiri. Sultan sendiri membuat aturan agar peti matinya ditutupi sutra kuning, hak istimewa dari istana kerajaan, menunjukkan hubungan akrabnya dengan suami dan saudara laki-lakinya. Musisi Melayu dan Tionghoa mengiringi upacara. Batas-batas kesukuan tidak selalu cukup teguh untuk mencegah ungkapan belasungkawa bagi seorang individu yang terkemuka dan memiliki nama baik. Meskipun Then Sioe Kim memiliki hubungan yang relatif baik dengan pegawai Belanda, Residen Kater tidak mempercayainya, yakin bahwa dia memainkan peranan ganda dalam ketegangan setelah pembubaran Kongsi Lanfang. Begitu Kater meninggalkan Pontianak, hubungan dengan Belanda membaik, dan dia dihadiahi pensiun bulanan sebesar 100 gulden, kemudian naik menjadi f150 setara dengan penghasilan opsir Tionghoa.

Belanda memungut pajak dengan perantaraan para opsir, kenyataannya masyarakat Tionghoa merupakan penyumbang pajak terbesar, dan menerbitkan peraturan-peraturan. Namun jarang berinteraksi langsung dengan para pemukim atau pedagang Tionghoa. Tidak mengherankan bila kekuasaan atas masyarakat Tionghoa tetap lemah dan hanya sedikit pengaruh budaya kolonial Belanda terhadap masyarakat Tionghoa. Bahkan dalam 1942, negara kolonial masih berada dalam proses menegakkan kekuasaannya di propinsi, Borneo Barat tidak memiliki masyarakat sipil di masa kolonial.

*) Penulis peminat kajian kontemporer sejarah dan budaya Kalimantan Barat. Diolah dari berbagai sumber (koleksi dokumen dan arsip tempo doeloe)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar