Minggu, 28 Desember 2008

MENEMBUS BATAS WAKTU:
DARI PENAMBANG EMAS KE PELADANG—PEDAGANG
Oleh: Syafaruddin Usman MHD

TERHALANG SEKAT KOLONIALISME
Orang Tionghoa Kalimantan Barat merupakan sebuah kelompok Tionghoa yang unik di antara minoritas Tionghoa Indonesia. Mereka berbeda dengan gambaran umum orang Tionghoa Indonesia yang secara ekonomi dianggap sebagai pelaku bisnis yang sukses. Kebanyakan orang Tionghoa di Kalimantan Barat bukanlah towkay ataupun hartawan yang menarik perhatian karena kesuksesan ekonomi mereka sebagai pengusaha dan pebisnis besar. Beberapa orang Tionghoa di Kalimantan Barat mungkin sesuai dengan gambaran ini, tetapi mereka bukanlah gambaran komunitas tersebut. Mereka pada umumnya adalah para pedagang kecil, pemilik toko, petani dan nelayan. Banyak orang Tionghoa di propinsi ini adalah penduduk miskin, beberapa di antaranya bahkan hidup pas-pasan.

Orang Tionghoa Kalimantan Barat bukanlah penyinggah (sojourners), suatu istilah yang dipopulerkan oleh Wang Gungwu. Mereka adalah pemukim yang menetap lama, beberapa di antaranya bahkan telah turun temun sejak abad ke 18, namun sejak lama, orang luar mencap mereka sebagai orang asing karena mereka mempertahankan kebudayaan mereka yang dianggap asing. Sekilas, mereka kelihatannya tetap sangat Tionghoa, yang pasling jelas adalah karena penggunaan bahasa Tionghoa secara turun temurun, berbeda dengan kalangan etnis Tionghoa yang telah bermukim lama di Jawa yang mempergunakan bahasa Melayu (Indonesi) dan daerah lainnya, dengan kehilangan kemampuannya untuk berbicara dalam bahasa Tionghoa.

Kehadiran orang Tionghoa di Kalimantan Barat juga berbeda dengan penduduk Tionghoa di beberapa tempat lain dalam kepulauan Indonesia yang merupakan hasil dari kolonialisme Belanda. Di masa kolonialisme Belanda, Perusahaan Dagang Hindia Belanda (VOC) mengajak orang Tionghoa untuk datang dan menetap di markas besar yang baru dibentuk di Batavia seelah 1619, sementara perusahaan Belanda dan perusahaan orang Barat (Eropa) lainnya memasukkan para kuli Tionghoa pada abad ke 19 dan awal abad ke 20 untuk mengerjakan pertambangan dan perkebunan, khususnya di pulau-pulau luar Jawa. Sebaliknya, para migran Tionghoa yang datang di Kalimantan Barat umumnya mengatur migrasi mereka, menggunakan jaringan mereka sendiri. Pada awalnya, penguasa lokal Melayu mendorong mereka datang, namun penguasa kolonial ataupun perusahaan Belanda tidak menganjurkan kedatangannya.

Orang Tionghoa di dalam kelompok mereka sendiri juga terdapat beraneka ragam kelompok. Meskipun hampir semua orang Tionghoa di Borneo Barat datang dari propinsi Guangdong di Tiongkok bagian selatan, dengan sedikit orang Hokkien dari propinsi Fujian, bahasa mereka yaitu Hakka, Teochiu, Kanton, Hainan dan lainnya, saling tidak dipahami. Bagi kebanyakan pengamat luar, orang Tionghoa tampak seperti kelompok yang homogen, tapi keterpisahan di antara mereka sebenarnya begitu besar sehingga memungkinkan pihak Belanda untuk menerapkan taktik pecah belah dan kuasai untuk menekan mereka.

Dua kelompok atau sub-etnis terbesar di Borneo Barat adalah Teochiu (Chaozhou) dan hakka. Orang Teochiu datang dari daerah pesisir Timur Laut Guangdong, di sekitar kota pelabuhan Swatow (Shantou). Sedangkan orang Hakka, kebanyakan bermigrasi dari daerah Guangdong yang lebih pedalaman yang berbukit-bukit atau daerah miskin di dataran rendah propinsi ini, tempat mereka seringkali tinggal di antara kelompok-kelompok yang berbeda bahasa. Orang Hakka juga tinggal di propinsi Fujian bagian pedalaman (Tingzhou), tapi hanya sedikit saja orang Hakka dari Fujian yang bermigrasi ke Borneo Barat.

Perbedaan antara orang hakka dan Teochiu tidak terlalu besar. Keduanya adalah orang Tionghoa etnis Han, dan keduanya menggunakan bahasa Tionghoa daerah Selatan. Orang Hakka biasa membuka ladang baru di Tiongkok, kadang-kadang dengan bantuan orang minoritas setempat. Mereka bercocok tanam di daerah yang tidak terlalu subur, dan selalu siap bermigrasi ke daerah baru. Karena itulah mereka disebut Hakka (kejia) yang artinya orang tamu. Di Borneo juga, mereka merupakan perintis. Kalau orang Teochiu cenderung berkumpul di daerah perkotaan dan berdagang, orang Hakka bekerja di pertambangan dan pertanian, kemudian mereka menjadi pedagang kecil di daerah pedalaman. Bahkan kini, orang Teochiu yang dalam dokumen masa kolonial sering disebut Hoklo (fulao) membentuk populasi terbesar orang Tionghoa di kota Pontianak dan di daerah-daerah sebelah selatan Pontianak. Sebaliknya, orang Hakka adalah kelompok utama di daerah sebelah Utara, khususnya di bekas Distrik Tionghoa dulu.

Kelompok terbanyak orang Tionghoa di Jawa, orang Hokkien, hanya sedikit di pulau Borneo ini, meskipun beberapa keluarga Hokkien ternama di Pontianak, selain juga beberapa dari kelompok dialek lainnya, khususnya orang Hainan. Sensus 1930 kelompok sub-etnis atau bahasa di antara orang Tionghoa di Borneo Barat menunjukkan Hakka 38.313, Teochiu 21.699, Kanton 2.961, Hokkien 2.570 dan lainnya 1.257. selain jumlah orang Tionghoa tersebut, lebih dari 41.298 orang Tionghoa lagi disensus hanya berdasarkan jenis kelamin dan kelompok usia. Kebanyakan dari mereka adalah orang Hakka.

Pejabat-pejabat masa kolonial awalnya mengabaikan perbedaan daerah asal dan bahasa di antara para pemukim Tionghoa. Sebelum penerjemah-penerjemah pertama Belanda untuk bahasa Tionghoa datang di era 1860-an, mereka bergantung pada orang Tionghoa lainnya untuk mendapatkan informasi mengenai sesama orang Tionghoa. Kata Hakka misalnya, tidak dipakai dalam dokumen-dokumen kolonial di awal abad ke 19. orang Belanda menyebut para penambang dan lainnya sebagai orang gunung atau orang bukit. Sebagai gambaran dari kesimpangsiuran ini, Komisioner pertama bagi Borneo, Nahuys van Burgst, yang saat itu menjabat sebagai Residen Yogyakarta, membawa seorang penerjemah Tionghoa ketika pertama kali mengunjungi pesisir barat pada 1818.

Penerjemah tersebut, Tan Djin Sing, diketahui menguasai bahasa Tionghoa, Jawa, Melayu, belanda dan Inggris, ada kemungkinan besar ia tidak bisa bahasa Hakka tetap tetap bisa berkomunikasi dengan orang Tionghoa Tiochiu Pontianak. Karena Tan Djin Sing (belakangan diberi gelar Raden Tumenggung Secadiningrat) an orang Tionghoa non-Hakka lain itulah, para pejabat Belanda dengan segera menganggap kelompok dominan di antara para penambang, orang gunung itu, adalah orang kasar dan kurang beradab, kelompok tersisih dari bangsa Tionghoa, dan mereka perlu kendalikan dengan tangan besi. Pandangan ini mencerminkan perasaan yang ada di antara orang Tionghoa non-Hakka, baik di Tiongkok Selatan maupun di luar negeri, terutama pada abad ke 19. di Tiongkok, orang Hakka terlibat pertempuran melawan orang Kanton, dan mereka merupakan tulang punggung Pemberontakan Taiping di Tiongkok yang berlangsung lebih dari satu dekade, 1850-1864.

Dibandingkan dengan orang Melayu, yang terbagi jelas menurut tingkat sosial dan politiknya, orang Tionghoa, karena tidak memiliki gelar turun temurun, terlihat lebig egaliter. Dalam bidang pertambangan, pemimpin biasanya dipilih, lebih karena kekuatan fisik atau kemampuan organisasi. Di mana-mana, status sosial biasanya terkait erat dengan kekayaan. Orang Tionghoa di luar negeri tidak pula mewarisi gelar bangsawan, dan umumnya tidak mendapat posisi yang penting di lembaga pemerintahan. Bahkan di abad ke 20, ketika pendidikan Tionghoa berkembang pesat, kekayaan tetap menjadi penentu terpenting bagi kepemimpinan komunitas, walaupun pendidikan, terutama jika berskolah di Tiongkok, juga dihargai.

Menurut hukum, orang belanda menganggap semua etnis Tionghoa, termasuk mereka yang lahir di Nusantara dan mereka dengan keturunan campuran, sebagai orang Timur Asing (Vreemde Oosterlingen), sebuah sebutan yang biasanya digunakan untuk keturunan Aab, meskipun tidak dipakai di Pontianak dan juga terhadap imigran dari India. Perbedaan formal ini ada sejak pertengahan abad ke 19, tapi hukum yang membatasi pembauran orang Tionghoa sudah ada sebelum masa itu.

Penguasa kolonial menyusun berbagai peraturan untuk menghalangi orang Tionghoa menjadi penduduk asli. Sebelum masa penjajahan, orang Tionghoa sesekali berbaur ke dalam kelompok etnis lainnya di Borneo. Pedagang-pedagang Tionghoa yang memiliki ikatan dengan kerajaan-kerajaan lokal bisa memakai gelar Melayu dan bahkan memeluk agama Islam, seperti banyak yang dilakukan di Palembang misalnya, dan bisa saja sebagian pedagang Tionghoa melakukan hal yang sama di istana-istana Melayu di pesisir barat Borneo. Orang yang terisolasi di daerah pedalaman kadang-kadang melebur ke dalam masyarakat Dayak, walalupun hal ini jarang terjadi. Begitu pemerintahan kolonial berdiri di pertengahan abad ke 19, kesempatan bagi para imigran Tionghoa dan keturunan mereka untuk melintasi diri dari batas-batas etnis dan politik berkurang dengan pasti.

Walaupun sebagian pedagang Tionghoa telah mengunjungi Brunei dan kerajaan Borneo lainnya selama berabad-abad, orang Tionghoa pertama yang tiba di Borneo Barat dalam jumlah besar baru datang di pertengahan abad ke 18 untuk menambang emas. Sebagai penambang, orang Tionghoa bersaing dengan orang Melayu dan Dayak, yang telah mengerjakan tambang sebelum mereka, tapi metode orang Tionghoa lebih efisien untuk mengerjakan semuanya kecuali kandungan tambang yang lebih kecil dan di daerah jauh di dalam.

Penguasa Melayu, yang saat itu mendorong orang Tionghoa untuk bermigrasi, walaupun begitu, membatasi para pendatang. Perjanjian-perjanjian awal para penambang bagu dengan penguasa lokal melarang mereka untuk masuk ke bidang pertanian, ini dilakukan agar para imigran membeli beras dan keperluan-keperluan impor dari penguasa dengan harga tinggi, tetapi pertanian merupakan bagian penting dari tambang, dan di abad ke 18 tanah begitu luas, bahkan di daerah pesisir, sehingga peraturan Melayu tersebut menjadi sangat tidak berarti. Orang Tionghoa membuka lahan untuk sawah dan pertanian laionnya. Sebagai petani, orang Tionghoa dan Dayak tidak bersaing memperebutkan tanah. Umumnya orang Dayak bertani di wilayah yang yang lebih tinggi dan kurang kering, seringkali di bukit-bukit, tempat yang memang lebih cocok untuk berladang.
Orang Tionghoa lebih menyukai dataran rendah dengan banyak pengairan untuk bersawah. Kedua sistem cocok tanam ini berubah sejalan dengan waktu, beberapa orang Dayak beralih dari ladang kering ke sawah basah, dan dengan pengenalan terhadap tanaman niaga berupa lada serta karet, membuat penggunaan dataran tinggi pun beguna bagi orang Tionghoa. Di abad ke 20, tanah yang baik menjadi makin sedikit dan persaingan antara kedua kelompok etnis pun meningkat.

Walaupun orang Tionghoa jarang yang menjadi Dayak, perkawinan antara perempuan Dayak dan pria Tionghoa menjadikan para istri tersebut masuk Cina, menjadi Tionghoa. Istri-istri ini mengenakan pakaian Tionghoa dan membesarkan anak-anak mereka sebagai orang Tionghoa. Para laki-laki Tionghoa yang menyunting perempuan dari kelompok Dayak di sekitar biasanya menempatkan seluruh keluarga dari pihak istri di bawah perlindungan mereka. Hubungan ini, seperti juga hubungan dagang, ikut mendorong orang Dayak tertentu untuk belajar bicara bahasa-bahasa Tionghoa dan menerapkan adat istiadat Tionghoa lainnya.

Dalam komunitas-komintas tambang di abad ke 19, sekilas dapat dikatakan semua perempuan Tionghoa merupakan keturunan campuran, seorang pengamat Barat melihat mereka lebih cantik dari orang Melayu atau orang Jawa. Mereka memakai gaun Tionghoa, celana katun biru hingga di bawah lutut dengan jaket senada berkancing perak di sisinya. Sepasang selop kulit denbgan sol kayu yang tebal melengkapi pakaian mereka. Pada hari libur, para ibu mengenakan pakaian sutera dan perhiasan emas, orang kaya bahkan memakai kancing emas, sepatu gaya Tionghoa dan stoking. Berbeda dari perempuan Tionghoa di daerah lain di Hindia Belanda yang dipingit, perempuan-perempuan ini memiliki kebebasan untuk melihat dan dilihat oleh orang asing, bahkan menurut beberapa tulisan, mereka tidak pemalu sama sekali.

Seperti juga pengamat lainnya, ketika mengunjungi Borneo, seorang pengembara Austria dari Wina, Ida Pfeiffer, mencatat banyaknya perkawinan campur dan orang Tionghoa lebih memilih orang Dayak ketimbang orang Melayu. Tambahan lagi, mereka merupakan aset perdagangan bagi pasangannya, paling tidak bagi mereka yang berdagang, karena para istri tersebut bisa menjaga toko saat suami mereka melakukan kegiatan lain.

Pada 1861, bertahun-tahun setelah kongsi Monterado ditutup, para perempuan terpantau pergi untuk menyaring sisa-sisa pasir yang mengandung emas dengan memakai celana dan jaket biru tua, dan kain kepala berwarna merah di bawah topi tambang mereka. Mereka pergi menuju tambang membawa dulang, loyang berbentuk wajan untuk mencuci emas, sambil menyanyikan lagu-lagu pegunungan, suatu hal yang khas kebiasaan orang hakka. Kalaupun mereka bukan perempuan keturunan murni Tionghoa, secara budaya mereka telah menjadi orang Tionghoa. Saat itu populasi penambang menurun. Sekitar sepertiga dari mereka sudah terlalu tua atau sakit sehingga tidak sanggup membayar pajak. Kurang dari sepertiga laki-laki serta semua peremuan lahir di sana. Pada abad ke 20, perempuan Tionghoa di Borneo Barat seringkali mengenakan sarung bergaya Melayu seperti yang dipakai perempuan peranakan Tionghoa di Jawa. Ketika komunitas-komunitas sudah menetap, anak-anak perempuan pun lahir, maka pernikahan campuran antara laki-laki Tionghoa dan perempuan Dayak pun makin jarang. Kelihatannya ini terjadi pada awal abad ke 19: … Ketika orang Tionghoa pertama kali datang ke daerah ini, mereka hanya kawin dengan anak-anak perempuan orang Dayak.. tapi kemudian, saat populasi mereka bertambah, mulailah terjadi perkawinan di antara mereka sendiri dan mereka jarang mengambil perempuan Dayak sebagai isteri mereka. Kisah ini dari 1820-an, atau lebih awal lagi.

ORANG HAKKA DARI BORNEO BARAT
Setelah perang dengan Monterado pada 1850-an, pemerintah ikut campur dengan melarang pria Tionghoa memperistri perempuan Dayak sebagai pembayaran hutang. Selain itu, laki-laki Tionghoa yang secara sah menyunting perempuan Dayak diharuskan membayar f120, jumlah yang cukup besar, kepada penguasa Melayu atau kepada pemegang hak upeti di komunitas perempuan tersebut, sebagai pengganti bagi kerugian. Beberapa tahun kemudian, seorang pejabat mengeluhkan bahwa biaya tersebut menjadikan mempelai-mempelai Tionghoa korban dari imoralitas yang memalukan. Pada 1861 penguasa menarik kembali peraturan-peraturan mengenai biaya pengantin tersebut, khususnya di daerah pesisir, makin banyak perempuan datang dari Tiongkok. Melalui imigrasi dan kelahiran, komunitas Tionghoa menjadi makin berimbang antara jumlah laki-laki dan perempuannya, dan perkawinan campur dengan orang setempat pun makin jarang, kecuali di daerah-daerah yang laki-laki Tionghoa lebih terisolasi, seperti di daerah pedalaman.

Walaupun orang Tionghoa cenderung mempertahankan bahasa Tionghoa, menguasai dua bahasa adalah hal biasa. Tidak jarang, orang Tionghoa bisa berbahasa Hakka maupun Teochiu. Banyak orang Hakka yang datang dari dataran tinggi daerah Hepo (disebut Hoppo) di Jieyang atau dari Lufeng, Haifeng, Fengsun dan Huilai, mereka yang disebut sebagai pansanhok ini (banshanke, secara harafiah Hakka setenga gunung, maksudnya setengah Hakka setengah Hoklo atau Teochiu) biasanya dapat berbicara fasih dalam kedua bahasa tersebut sebelum mereka meninggalkan Tiongkok. Orang pansanhok ini paling banyak terdapat di daerah bagian utara dan pusat Distrik Tionghoa, sedangkan orang Hakka dari ibukota Hakka, Meixian di Guangdong yang disebut menggunakan bahasa Hakka yang lebih murni, lebih banyak tinggal di sekitar Pontianak dan mandor. Pembagian dialek-dialek Hakka ini, serta daerah asal, terkait dengan batas-batas organisasi tambang.

Dalam paruh kedua abad ke 19, pedagang-pedagang Tionghoa mulai bergerak lebih ke dalam, mereka berdagang hasil hutan yang dibeli dari para pengumpul Dayak. Di desa-desa, seorang istri lokal di mana seorang pedagang bisa memiliki dua istri: satu istri lokal di daerah pedalaman dan satu lagi yang menetap di kota tempatnta tinggal, merupakan aset bisnis yang penting. Hanya dengan hadiah-hadiah kecil, pedagang-pedagang itu bisa dengan mudah membuat perempuan Dayak bersedia untuk tinggal bersama. Hal penting lainnya adalah, pedagang-pedagang Tionghoa di pedalaman belajar bahasa Dayak, seperti juga orang Dayak yang tinggal di dekat pemukiman Tionghoa belajar bahasa Tionghoa, biasanya Hakka. Sebagai contoh, Ritter (1861) menggambarkan, seorang Dayak yang lari dari kelompoknya tetapi mendapatkan pekerjaan dari pemimpin sebuah kongsi pertambangan karena ia bisa bicara sedikit bahasa Tionghoa. Bahkan kini, sejumlah orang non-Tionghoa di Kalimantan Barat mengaku paham bahasa Hakka.

Bahasa Melayu tetap menjadi bahasa di kota-kota pesisir, digunakan oleh semua kelompok etnis. Di kota-kota ini, banyak orang Tionghoa yang lahir di Borneo berbicara Melayu, sedangkan orang Dayak memakainya di pasar, dan pejabat pemerintahan kolonial Belanda, karena banyak dari mereka tidak bisa menangkap pemakaian dialek bahasa lokal lainnya, ikut menyebarkannya. Sering terjadi penggunaan dua bahasa dan banyak bahasa (bilingualisme dan multilingualisme), terlepas dari batas-batas etnis. Orang Hakka, di antara suku Tionghoa Han, dikenal dari bahasa mereka, namun juga dari ketangguhan mereka dan kebiasaan mereka untuk bergaul dalam kelompok sendiri, menurut pengamatan dari orang luar kelompok mereka, serta dari ketersediaan mereka melakukan kerja keras yang mematahkan punggung di pertambangan dan pertanian. Baik di Tiongkok maupun di Asia Tenggara, orang Hakka dicap sebagai orang kampung dan mskin, walalupun belakangan sejumlah orang Hakka tinggal di kota dan kaya.

Di antara orang Hakka, peran gender tidak dibedakan sekuat di kelompok orang Tionghoa lainnya. Perempuan Hakka bebas memilih kerja sebagai buruh tani, walalupun tidak di urusan komunitas. Terbiasa dengan kerja keras di ladang, perempuan Hakka tidak mempunyai kebiasaan untuk membebat kaki mereka, dan kemungkinan besar lebih mandiri dibanding dengan saudara perempuan mereka dari kelompok non-Hakkah. Tidak satupun pengamat melaporkan adanya pembebatan kaki di Borneo. Menurut beberapa tulisan, di Tiongkok dan Hong Kong sebagai contohnya, perempuan Tionghoa non-Hakka yang menikah di desa-desa Hakka dengan cepat mempelajari bahasa yang dominan itu, dan mereka terus memegang identitas Hakka dalam keluarga dari generasi ke generasi, walalupun terjadi perkawinan campur. Hal ini sejalan dengan pengalaman keluarga-keluarga Hakka di Borneo yang berhasil mengintegrasikan istri lokal mereka ke dalam masyarakat Tionghoa.

Hingga 1850-an, para imigran Tionghoa berlayar dengan jung-jung, datang setiap tahun di bulan Desember atau Januari. Semasa Perang Monterado, imigrasi orang Tionghoa ke Borneo Barat dilarang, namun sebuah peraturan 1856 mengijinkan masuknya imigran Tionghoa dalam jumlah yang terbatas. Pemerintah mulai merasakan bahwa para imigran Tionghoa akan mempunyai pengaruh yang positif bagi orang Dayak, misalnya mengajarkan mereka metode pertanian yang lebih baik, dan orang Tionghoa berdagang dengan mereka secara lebih adil, daripada yang dilakukan oleh para pedagang Melayu, Bugis dan Arab. Pada saat yang sama, pemerintah percaya bahwa para pedagang Tionghoa haruslah diawasi secara ketat untuk menjamin agar mereka tidak datang dalam jumlah berlebihan atau mengambil keuntungan dari rekan perdagangan setempat mereka.

DALAM PERCATURAN SOSIAL—EKONOMI
Meskipun jumlah orang Tionghoa di Borneo Barat melampaui angka 100.000 pada 1930, namun pertumbuhan populasi yang cepat tidak lagi berlanjut sampai 1930-an, dan tingkat pertumbuhan penduduk tahunan di atas 4 persen, sebagaimana diperkirakan untuk 1920-1930, terbukti sebagai suatu pengecualian belaka. Depresi mengakhiri pertumbuhan cepat populasi orang Tionghoa, meskipun imigrasi terasa meningkat kembali pada akhir 1940-an dan awal 1950-an. Di lain sisi, jumlah perempuan dan keluarga Tionghoa di antara keseluruhan penduduk telah meningkat. Imigrasi perempuan dari Tiongkok sangatlah jarang pada zaman kongsi. Pada 1865, tiga orang hartawan Tionghoa membawa sebuah kapal yang penuh bermuatan kaum imigran, kebanyakan perempuan dai Tiongkok, namun kapal ini karam dan hmpir semuanya tewas. Tentunya para perempuan tersebut diperuntukkan untuk pelacuran, namun penuturan tersebut dalam Koloniaal Verslag 1856, tidak menyebut maksud dari yang memberi dana tersebut.

Mungkin terdapat beberapa upaya serupa untuk mendatangkan perempuan secara besar-besaran, namun tak dimiliki catatan lanjut mengenai hal ini. Beberapa orang perempuan Hakka tampak mengikuti pasangan pria mereka ke tempat tujuan lain di luar negeri pada 1860-an, namun sukar untuk mengetahui apakah hal itu juga terjadi di Borneo. Walaupun jumlah perempuan Tionghoa yang menyeberang lautan adalah terbatas, tingkat perkawinan campuran antara orang Tionghoa dengan perempuan Dayak relatif rendah. Mempergunakan informasi dari sensus 1877 di Mandor Lanfang, Residen Kater menemukan hanya ada limabelas perempuan Dayak murni dari jumlah keseluruhan sebanyak lebih dari 1.300 perempuan dewasa yang hidup bersama dengan orang Tionghoa. Dari hampir lima ribu penduduk, sekitar dua ribunya adalah laki-laki dewasa.

Perkawinan campuran antara orang Tionghoa dan Dayak benar-benar sebuah fenomena di tapal batas. Sebagai tambahan, setelah 1850 beberapa bentuk perkawinan campuran secara aktif dicegah oleh pemerintah. Para pejabat kolonial yakin bahwa orang Tionghoa mendapatkan pengantin dengan cara memperdaya pria Dayak yang terjerat hutang dan mengambil putri-putri atau istri mereka sebagai pembayaran atas kewajiban yang belum dibayarkan. Pada 1854, mereka melarang hubungan Tionghoa-Dayak semacam itu yaitu perkawinan karena hutang.

Peraturan ini boleh jadi tidak pernah efektif berjalan, namun kemudian segera menjadi tidak lagi relevan. Jumlah perempuan di komunitas-komunitas Tionghoa segera meningkat sebagai akibat dari perubahan demografi dan ekonomi. Di manapun komunitas Tionghoa berkembang, dilahirkan perempuan yang cukup untuk memberikan kaum prianya seorang istri. Pada sensus 1930, hanya sekitar 230 perempuan non-Tionghoa, kebanyakan orang Dayak, yang terdaftar sebagai istri dari laki-laki Tionghoa di seluruh Borneo Barat. Sensus penduduk tidak menyajikan rincian mengenai lebih dari 40.000 orang Tionghoa yang tinggal di pedalaman, kebanyakan orang Hakka, yang sekedar dihitung secara sederhana dan tidak ditanyakan mengenai status perkawinannya. Dalam kenyataannya, kelompok ini merupakan kelompok yang paling cenderung menjalin hubungan dengan perempuan Dayak.

Saat pertama orang Tionghoa menetap di Borneo, mereka bertempat tinggal di lingkungan istana dan kota-kota pelabuhan seperti Sambas atau Sukadana. Para penambang bertempat tinggal di lokasi tambang-tambang yang mereka gali, Monterado dan Mandor tumbuh di sekeliling lokasi-lokasi pertambangan milik kongsi. Hampir semua kongsi menguasai pelabuhan-pelabuhan pesisir. Agar kongsi dapat berja lahirlah juga pemukiman-pemukiman pertanian, seperti yang ada di sekitar pelabuhan Pemangkat yang melayani kebutuhan kongsi Samtiaokioe, atau di dekat pelabuhan Singkawang yang melayani kebutuhan kongsi Thaikong. Mandor juga menguasai tanah pertanian di lembah yang subur dekat kota tersebut.

Jika suatu areal tambanghabis cadangan emasnya, para penambang segera berpindah tempat. Pemukiman mengikuti kandungan emas dari Mandor ke Landak, dari Monterado menuju Bengkayang. Perpindahan ini menyebabkan pergesekan dengan orang Melayu dan Dayak yang hidup di sekitarnya, dan terkadang juga dengan orang Tionghoa lainnya. Namun kecenderungan terbesarnya adalah perpindahan dari pertambangan menjadi pertanian berskala kecil, dari menggali bahan baku ke hidup menetap. Jika pada masa awal, pemandangan dikuasai oleh tambang yang mempekerjakan 10 hingga 30 orang pekerja Tionghoa, saat ini pemandangan mulai dipenuhi oleh rumah-rumah kecil yang dikelilingi oleh kebun, dengan hewan dan perkakas rumah tangga lainnya. Setelah 1854, kecenderungan menjadi pertanian bermukim terus berlanjut. Pergeseran populasi ini menyebabkan orang Tionghoa berpindah menjauh dari pusat-pusat kongsi, baik menuju ke kota-kota pesisir maupun ke daerah yang cocok untuk bertanam padi, atau kemudian ladang kelapa dan karet, atau menuju wilayah pedalaman, di mana mereka terlibat dalam perdagangan atau pertambangan berskala kecil. Terkadang mereka terlibat dalam kegiatan ganda.

Perluasan orang Tionghoa ke pedalaman semakin dimungkinkan oleh keamanan yang lebih baik berkat perluasan kekuasaan Belanda hingga ke pedalaman, namun seringkali orang Tionghoa datang lebih dahulu daripada orang Belanda. Berdasarkan sebuah penuturan 1931, mereka menetap di tempat maupun yang kondisinya mereka anggap memang menguntungkan. Kelompok-kelompok kecil para penambang terus menjadi pelopor untuk menemukan lokasi tambang yang baru, namun banyak juga yang mencari peruntungan ke tempat-tempat yang lain. Mandor dan Monterado menjadi saksi menyedihkan dari bekas kegiatan nereka. Tambang-tambang tua sudah tidak lagi berguna, tidak hanya sekali ditambang saja, namun hingga berkali-kali. Pagong-pagong (kolam-kolam pertambangan) meluap setelah turun hujan, membanjiri parit-parit dan menutupinya dengan pasir. Rumah-rumah ditinggalkan, jalan-jalan rusak dan tidak lagi dapat dipergunakan.

Orang Teochiu merupakan kelompok terbesar di antara orang Tionghoa hanya untuk yang di kota saja, sekitar dua ribu orang dari 4.449 orang Tionghoa adalah Teochiu (Hoklo) dan 1.700 adalah Hakka. Di Kampung Baru dengan 1.036 orang Tionghoa, terdapat sekitar 640 orang Hakka, sedangkan semua dari 1.060 orang Tionghoa di Mandor adalah Hakka. Kampung Baru, yang hingga 1884 adalah milik dari Kongsi Lanfang, merupakan pusat industri Pontianak. Daerah ini menggambarkan perkembangan perekonomian pulau ini secara keseluruhan. Pertama, tumbuh berkembang berbagai gudang penyimpanan kayu dan penggergajian kayu untuk konstruksi dan pembuatan kapal dan sebuah pergudangan untuk menyimpan hasil hutan. Pada masa ketika Buys berkunjung 1880-an, hasil hutan seperti rotan, damar dan getah perca dimuat di atas rakit yang terbuat dari kayu-kayu besar dan dihanyutkan ke Pontianak. Kemudian kayu-kayu tersebut akan dikirim ke penggergajian kayu. Kemudian, di akhir abad ke 19, dibangunlah pabrik minyak kelapa dan kopra. Dan pada akhirnya, berkembanglah rumah industri pengasapan karet hingga menyebar ke semua tepi sungai. Di luar daerah industri hiduplah orang Tionghoa sebagai petani dan pekebun tanaman niaga.

MENJADI ORANG PEDALAMAN
Perpindahan ke pesisir pantai dan ke daerah pertanian merupakan salah satu bagian dari kisah migrasi orang Tionghoa. Sebelum akhir abad ke 18, orang Tionghoa barangkali telah mulai melakukan pertambangan di Sanggau dan Tayan yang terletak di sepanjang Sungai Kapuas. Pada 1866, pertambangan orang Tionghoa telah berpindah ke hulu, mencapai Sintang dan Silat. Beberapa waktu kemudian, pertambangan orang Tionghoa dapat ditemukan di Nanga Pinoh, Bunut dan Putussibau, jauh di pedalaman. Dikarenakan persediaan emas menyebar dan tak terlalu besar, kebutuhan untuk membuka tambang baru telah mendorong orang Tionghoa untuk semakin jauh masuk ke pelosok pedalamamn. Sebagaimana dicatat, metode pertambangan orang Tionghoa dengan cepat menguras persediaan emas.

Orang Tionghoa yang lainnya bergerak ke pedalaman untuk berdagang. Pada 1872, para pejabat kolonial mencatat orang Tionghoa dengan jumlah yang signifikan berangkat menuju ke daerah terpencil di pedalaman. Gejala ini cukup mendapat perhatian karena hal ini menunjukkan inisiatif bahkan keberanian, karena sebagian wilayah pedalaman barulah tergabung di bawah kekuasaan Belanda setelah akhir abad ke 19. pedagang yang bergerak jauh dari pantai berarti meninggalkan perlindungan kekuasaan kolonial.

Para pedagang berpindah ini umumnya para pendatang baru, atau sinkeh (xinke), di mana mereka dengan cepat dapat mempelajari bahasa Dayak setempat. Orang Tionghoa kelahiran setempat, sumber-sumber berbahasa Belanda menyebutnya peranakan tetapi mungkin lebih tepat disebut berakar lokal, tinggal di pemukiman orang Tionghoa yang lebih besar dan tidak siap untuk pergi ke pedalaman. Beberapa pedagang membangun basis di kota, berpindah ke pedalaman untuk berdagang dan tinggal di sana selama beberapa bulan. Kebanyakan adalah agen dari perusahaan di kota-kota yang lebih besar.

Orang Dayak dengan mudah mengikatkan diri ke dalam hubungan perniagaan dengan orang Tionghoa. Pada 1885 misalnya orang Dayak menyukai berbelanja di pasar di Mandor, dan ketika orang Tionghoa berpindah ke pedalaman, kios-kios milik orang Tionghoa menawarkan sejenis pertunjukkan bagi para pengunjung Dayak yang sedang pergi untuk berbelanja atau menjual barang atau yang sekedar bersosialisasi. Orang Dayak seringkali menyebut orang Tionghoa dengan sebutan sobat, sebagai sahabat. Teman atau bukan, orang Dayak mengetahui bahwa dia dapat menaruh harapan pada tauke-nya atau pedagang.

Kemudahan orang Tionghoa untuk berpindah dan bermukim di pedalaman Borneo sangatlah bertolak belakang dengan kesulitan yang dialami oleh orang Tionghoa di Pulau Jawa di mana perjalanan dan pemukimannya secara efektif dibatasi. Meskipun peraturan perundang-undangan mengatur apa yang disebut wijkenstelsel (sistem pemukiman atau perkampungan) yang dirancang untuk mengatur orang Tionghoa agar secara menetap di pemukiman resmi untuk orang Tionghoa, di Borneo peraturan ini hampir tidak berlaku. Residen dapat memberikan ijin kepada orang Tionghoa untuk bertempat tinggal di mana saja bagi keperluan perdagangan atau pertanian. Dalam kenyataannya, seringkali, orang Tionghoa sendirilah yang mendirikan pemukiman tetap di luar wijken atau perkampungan yang secara resmi diperlakukan sebagai kediaman sementara dari rumah mereka sendiri, sebuah cerita yang nyaman bagi semua yang terlibat. Selama bertahun-tahun, sistem ini secara keseluruhan tidak dapat diterapkan.

Pada 1902, terdapat hampir sebanyak sembilan puluh buah pemukiman, sebagian besar sangat kecil, dirancang sebagai perkampungan resmi orang Tionghoa. Pada 1912, penguasa di Borneo mencoba untuk menegakkan pembatasan perumahan dan mengendalikan perjalanan secara lebih ketat, mengabaikan situasi di mana banyak para petani Tionghoa yang tinggal di lahan-lahan mereka, sehingga hal ini menimbulkan perlawanan. Pada 1922, tinggal tujuh puluh lima pemukiman resmi orang Tionghoa yang masih tersisa, namun hal ini bukan berarti bahwa populasi orang Tionghoa telah menjadi semakin terpusat. Dalam kenyataannya, yang terjadi adalah sebaliknya.

Di pedalaman, sejumlah pedagang Tionghoa tinggal di rumah-rumah perahu, sementara yang lainnya bertempat tinggal di sebagaimana penguasa menyebutnya perkampungan perkotaan sementara. Kehadiran mereka juga tidak mendapat penolakan. Bahkan orang Dayak memahami benar bahwa mereka akan mendapat keuntungan jika terdapat lebih dari satu pedagang Tionghoa yang bersaing dalam bisnis mereka dan dengan cepat belajar bagaimana mendapatkan harga yang lebih baik atas barang-barang mereka dengan cara melakukan perjalanan tambahan satu hari untuk memenuhi pedagang yang lain.

Posisi yang kuat dari para pedagang Tionghoa di keresidenan ini timbul dari struktur perekonomian Borneo Barat yang khas. Hubungan hulu hilir berkembang di masa lalu karena para penduduk di pedalaman sangat tergantung, atau sangat menginginkan, barang-barang impor seperti garam, tembakau, candu, pakaian, perhiasan dan terkadang beras. Hingga abad ke 19, istana dan bangsawan Melayu sudah memonopoli perdagangan, membuat orang Dayak sebagai rekannya dalam posisi hubungan yang tergantung. Di daerah-daerah di mana terdapat sedikit orang yang tergantung padam penghutang dari atau budak dari orang Melayu, pemanfaatan hasil hutan mungkin baru dimulai ketika orang Tionghoa memasuki wilayah tersebut. Seperti kaum elit Melayu, para pedagang Tionghoa juga menciptakan hubungan ketergantungan dengan cara meminjamkan uang kepada orang Dayak dan membuat mereka dalam keadaan berhutang, namun mereka juga membuka pasar yang baru. Sebagai akibatnya terjadi kenaikan ekspor yang seringkali sebagaimana disaksikan kemudian, pemungutan hasil hutan secara besar-besaran akan membahayakan kelestariannya.

Pada pertengahan abad ke 19, selain emas, hasil hutan merupakan ekspor utama Borneo Barat. Sejalan dengan menurunnya kongsi di akhir abad, hasil alam menggantikan posisi penting mineral. Pada awal abad ke 20, berkurangnya persediaan menjadi satu persoalan ketika beberapa sumber alam menjadi sangat langka. Tidak lama kemudian, sebelum 1925, hasil panen para petani kecil menggantikan hasil kekayaan alam sebagai ekspor utama daerah pesisir. Terdapat dua perubahan yang terjadi pada perdagangan tradisional hasil hutan sepanjang abad ke 19. pertama, Belanda melalui perjanjian membatasi hak para penguasa Melayu untuk mengumpulkan pajak dan upeti dari orang Dayak. Hal ini sangat memperlemah posisi para penguasa dan para pemegang hak upeti dalam berhubungan dengan orang Dayak, dan sebagai akibatnya mereka mulai kehilangan posisi istimewa sebagai para pedagang kunci. Kedua, permintaan hasil hutan dalam pasar internasional melambung tinggi.

Penebang kayu mulai bekerja di pedalaman pada 1850-an, terutama di Sambas, namun hingga Perang Dunia II, industri kayu masih tetap relatif tidak penting di Borneo Barat. Daerah tersebut mengirimkan kayu ke industri bangunan lokal dan mengekspor sejumlah kecil kayu ke Jawa atau Jepang. Orang Melayu dan Dayak menyediakan pekerja untuk menebang pohon, sementara orang Tionghoa bergerak ke perdagangan dan penggergajian kayu. Beberapa penggergajian kayu berlokasi di Kampung Baru. Beberapa pedagang juga membangun perahu kayu atau sampan. Para pedagang Jepang yang mencoba mengekspor kayu dari pesisir barat Borneo pada 1930-an terpaksa menyerah karena ditekan oleh para pedagang Tionghoa yang dipicu oleh Perang Tiongkok-Jepang. Beberapa penggergajian kayu di Kampung Baru dimiliki oleh orang Melayu. Para pejabat kolonial mencatat berbagai barang yang dipungut dari hutan di pedalaman dan di masa meledak, terutama ketika kegiatan pengumpulan hasil hutan memuncak, Belanda khawatir keuntungannya akan membuat orang Dayak mengabaikan produksi makanan. Namun dalam kenyataannya, kegiatan tersebut terkonsentrasi selama bulan-bulan ketika kerja-kerja pertanian sedang berkurang. Walalupun tumbuhnya kegiatan ekspor hasil hutan mengalihkan pekerja dari ladang, gagal panen biasanya disebabkan oleh cuaca buruk, bukan karena kekurangan pekerja. Terlebih lagi, selama masa kaum lakii-laki masuk ke hutan dan menebang pohon atau memungut rotan di dataran yang sulit, kaum perempuan dapat melakukan banyak hal pada kerja-kerja pertanian.

Meskipun orang Melayu juga terus membeli sejumlah hasil hutan, sejumlah pedagang Melayu mungkin juga berdagang dengan barang-barang yang dibeli secara kredit dari orang Tionghoa, orang Tionghoa mendominasi perdagangan ekspor. Jaringan mereka yang terpusat di Singapura, menjangkau pemukiman-pemukiman seperti Sintang dan pasar-pasar Tionghoa di pedalaman. Dikarenakan para pedagang Tionghoa seringkali mengunjungi para pelanggannya dengan perahu, di pelabuhan utama barang-barang dapat dimuat secara langsung dari perahu ke kapal yang akan berlayar. Perdagangan di pedalaman biasanya dikelola secara barter, beras, tembakau, pakaian, manik-manik gelas dan juga garam atau senjata selundupan adalah permintaan yang terbesar. Ketersediaan dari barang-barang konsumsi tadi mendorong pengumpulan hasil hutan yang lebih intensif.

DI AMBANG RESESI MALAISE
Orang Tionghoa mendirikan banyak ladang di sepanjang pantai atau di dekat pusat-pusat pertambangan pada pertengahan abad ke 19 dan bermukim dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari sepuluh hingga tiga puluh keluarga di lembah yang subur dengan pengairan yang baik. Tanaman yang mereka tanam seringkali baru bagi Borneo, mereka membudidayakan sayur mayur, nenas, tebu dan tentu saja padi sawah, dan barangkali merekalah yang memperkenalkannya ke pulau ini. Jumlah petani tumbuh secara tetap.

Pada 1875, dari semua orang Timur Asing yang terdaftar di Borneo Barat sebagai pekerja, 3.506 hidup dari pertanian, tidak termasuk mereka yang menjalankan kegiatan sebagai nelayan atau peternak hewan, sementara 1.574 bekerja di tambang. Pedagang grosir dan pedagang eceran berjumlah 1.942 dan terdapat 650 orang yang terdaftar sebagai tukang. Pada 1887, jumlah petani meningkat menjadi 4.367 orang. Penambang berjumlah 1.639 orang, pedagang 2.002. pada sensus 1891, yang mencatat pekerjaan dari 12.142 orang Timur Asing di keresidenan tersebut yang 90 persennya adalah orang Tionghoa sisanya orang Arab dan India menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan pola pekerjaan orang Tionghoa. Satu proporsi yang substansial, 43 persen atau 5.602 adalah berbagai macam tukang atau kuli dan pegawai, tidak termasuk 170 pembantu rumah tangga. Proporsi lebih kecil yaitu 35 persen atau 4.640 dari orang Timur Asing bekerja sebagai petani atau memelihara ikan atau hewan. Hanya 1.085 orang atau 8 persen yang bekerja di pertambangan, semuanya orang Tionghoa kecuali dua orang.

Sebagai tambahan, 1.838 atau 14 persen dari orang Timur Asing yang bergerak di bidang perdagangan, tempat gadai dan peminjaman uang. Pegawai pemerintah melibatkan 156 orang Timur Asing, 163 orang bekerja di pacht candu dan lain-lain. Terdapat lima puluh tujuh guru di sekolah swasta non-keagamaan, lima puluh limanya adalah orang Tionghoa,. Meskipun terdapat orang non-Tionghoa dalam kategori Timur Asing, jelaslah bahwa perdagangan dan pertukangan, apakah itu bekerja sebagai usahawan bebas atau pegawai, dan pertanian telah menggantikan kegiatan pertambangan sebagai pekerjaan utama di Borneo Barat bagi penduduk Tionghoa. Karena setiap orang boleh mengisi satu pekerjaan, hal ini tidak mencerminkan meluasnya praktek pekerjaan ganda. Pada 1900 Enthoven menemukan bahwa hanya terdapat seorang tukang emas yang ahli di wilayah ini. Pada masa belakangan ini, Pontianak sendiri memiliki beberapa tukang emas, barangkali merupakan cerminan dari kecenderungan untuk menabung dalam bentuk emas dibanding dalam mata uang yang terus mengalami inflasi.. dalam kenyataannya, peranan penting pertanian terus meningkat. Pada 1895, tahun terakhir dari data statistik ini, terdapat sekitar 4.799 petani, 1.043 penambang dan 2.226 pedagang.

Lahan pertanian orang Tionghoa di Borneo Barat terpusat di wilayah yang terhampar dari Pontianak ke arah utara sepanjang pesisir, termasuk wilayah pedalaman di Distrik Tionghoa seperti Monterado dan Bengkayang. Sawah-sawah orang Tionghoa, kebanyakan tadah hujan, memberikan hasil yang baik, mencukupi bagi para petani tersebut untuk menjual sebagian beras dari setiap panennya. Pada masa itu, orang Melayu, Bugis dan Dayak yang tinggal berdekatan dengan para petani Tionghoa juga mulai membuat sawah. Orang Tionghoa juga membawa mesin-mesin sederhana dari Tiongkok untuk menumbuk dan menggiling padi mereka, dan untuk memeras tebu. Para penduduk setempat juga menggunakan jenis yang lebih sederhana dari mesin-mesin tersebut.

Pemerintah kolonial mempunyai dua pandangan dalam melihat aktivitas perdagangan dan pertanian orang Tionghoa, terutama yang terjadi di pedalaman. Di satu sisi, mereka menyadari pentingnya para pedagang Tionghoa bagi para peladang pribumi. Di lain sisi, mereka takut orang Tionghoa akan mengusir kaum pribumi dari tanah mereka atau mencurangi mereka. Jalan keluarnya adalah membatasi para pemukim dan pedagang Tionghoa pada akses memperoleh tanah, atau mewajibkan mereka untuk tinggal di daerah perkotaan. Perekonomian Borneo Barat mengalami perubahan yang dramatis selama tahun-tahun setelah perang kongsi. Dari perekonomian subsisten dalam bentuk usaha kecil yang bergerak di bidang pertambangan atau mengekspor hasil kekayaan alam, menjadi pengekspor hasil hutan dan selanjutnya perekonomian rakyat dengan kelapa dan karet sebagai ekspor utamanya.

Eksploitasi hasil hutan terbukti tidak berkelanjutan, pada 1940-an, hanya orang di daerah pegunungan jauh di pelosok pedalaman sajalah yang masih mengumpulkan damar, getah dan karet alam untuk dijual. Penanaman kelapa dan karet secara cepat memberikan cukup pendapatan bagi banyak penduduk. Harga yang tinggi pada 1920-an memberikan kemakmuran yang nyata bagi keresidenan. Depresi membawa penderitaan yang nyata. Produksi makanan di daerah itu tidaklah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan para penduduknya dan jika ekspor jatuh, begitu pula pasokan makanan. Para petani kecil mendapat keuntungan besar dari ekspor jika itu berjalan baik, namun sangatlah sulit atau mustahil bagi mereka untuk melakukan pemberagaman tanaman dalam upaya melindungi mereka dari naik turunnya kebutuhan pasar. Sebuah aktifitas yang meningkat dari segi keutamaannya, meski masih kecil, adalah industri kayu. Sumber dayanya, terutama kayu besi, segera mengalami kerusakan di beberapa wilayah dan pemerintah segera membuat suatu daerah suaka.

Selama masa peralihan, orang Tionghoa memainkan peran utama. Dalam melakukan upayanya, mereka dibantu oleh orang Bugis dalam hal produksi kelapa dan tentu saja oleh kalangan pribumi yang berperan sekaligus sebagai produsen dan konsumen. Borneo Barat terbukti tidak ramah terhadap modal Eropa, penenman modal dilakukan dengan modal yang berasal dari Asia. Borsumij (Borneo Sumatra Maatschappij, perusahaan Borneo Sumatra) didirikan pada 1901 sebagai pengimpor. Rumah impor lainnya yaitu Geo Wehry, mendirikan kantor cabangnya di sana pada 1925. bagaimanapun, sejumlah rumah dagang Tionghoa sudah melakukan usaha di Borneo Barat sebelum akhir abad yakni 1880-an atau bahkan lebih awal lagi. Bahkan perusahaan kapal milik negara yang kuat yaitu KPM pun mendapat tantangan dari pesaing Tionghoa seperti Thong Ek dalam rute Singapura dan juga Perusahaan pelayaran Kapal Uap (Straits Steamship Company).

Sistem perdagangan orang Tionghoa yang mempergunakan pembayaran di muka telah mendorong produksi tanaman niaga, namun metode ini cenderung membuat para mitra pribumi tersebut terperangkap dalam hutang abadi, daripada mendapatkan uang tunai atau tabungan dalam tangan mereka. Upaya terbatas Belanda untuk memperbaiki situasi ini dengan mendirikan sebuah bank perkereditan rakyat, bukan suatu alternatif tawaran yang nyata terhadap orang Tionghoa sebagai pimpinan perdagangan dan pemberii pinjaman uang. Upaya dan usaha ini tentu saja mengalami kegagalan …

*) Penulis peminat kajian kontemporer sejarah dan budaya Kalimantan Barat. Diolah dari berbagai sumber (dokumentasi dan arsip tempo doeloe)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar