Minggu, 14 Desember 2008

PENCINTA BUKU DAN KORAN ANTIK DAN LANGKA

PeDAS adalah lembaga riset dan pengkajian. Syafaruddin Usman MHD merupakan pendiri lembaga tersebut lima tahun lalu. Selain juga, ia aktif dan merupakan pendiri PaDAT atau Pengkajian Dokumentasi dan Arsip Tionghoa. Dikedua lembaga itu sebagai direktur eksekutifnya. Yang pertama, PeDAS atau Pelestarian Dokumen dan Arsip Sejarah, sebuah lembaga yang aktif melakukan pengkajian tentang dokumen dan arsip sejarah lokal, nasional, regional maupun internasional.

Melalui kedua lembaganya itu, Din Osman begitu biasanya disebut, banyak melakukan diskusi, penelitian dan pengkajian serta membuat jurnal yang disebarkan ke berbagai kalangan melalui internet. Saat ini, PeDAS dan PaDAT aktif menerbitkan berbagai publikasi dan buku.

Sebagai lembaga riset, di PeDAS dan PaDAT, Din lebih banyak melakukan riset dan pengkajian. Pengkajian mendalam terhadap krisis identitas nasionalisme dan berbagai persoalan bangsa lainnya, dan semua aspek yang terkonsentrasi pada persoalan sejarah dan sosial ekonomi serta budaya.

Diskusi yang dipeloporinya via internet tentu selalu terbuka untuk siapa saja. Setiap diskusi yang digelar PeDAS ataupun PaDAT pada situsnya dikunjungi berbagai kalangan dari latar belakang yang berbeda. “Tentu semua di dalam forum itu ditujukan untuk perbaikan kondisi bangsa”, tutur pria yang sejak kecil suka membaca, berorganisasi dan membuat karya tulis ini.

Din menyukai buku. Ia termasuk generasi muda yang suka membeli dan mengoleksi berbagai buku. Mulai dari buku lama sampai terbitan terbaru. Kini ia mengoleksi sekitar 5 ribu judul buku. Sebagian kecil buku antik dan langka berasal dari abad ke-17 dalam berbagai bahasa, Belanda dan Indonesia. Buku-buku warisan budaya yang berbilai tinggi itu tersimpan rapi di perpustakaan pribadinya.

Koleksi Din itu ada juga yang berasal dari awal kemerdekaan Indonesia. Termasuk koran-koran dari tahun 1920-an, 1930-an, 1940-an dan 1950-an. Jumlahnya ada sekitar ratusan. Sementara, buku-bukunya sebagai sarana untuk belajar dan menjadi sumber inspirasi dalam mengarungi berbagai aktifitas dan profesional.

Mencari ilmu dari buku-buku kuno dan asli, bagi Din mendatangkan keasyikan tersendiri. “Dari membaca buku-buku itu, bisa mengetahui perjalanan hidup tokoh-tokoh besar lokal, Indonesia dan dunia”, Din mengaku membaca sebuah buku dengan tekas asli berbeda nuansanya dengan yang diterbitkan sekarang. “Ada auranya”, ujar penulis banyak buku ini.

Membaca buku dan koran lama tersebut bagi Din memberikan pengalaman berbeda. Ibarat melakukan perjalanan panjang memasuki kehidupan masa lalu. Getar aktifitas tokoh lokal dan nasional di masa kolonial seperti berada di depan mata. Din punya koleksi koran Borneo (Barat) Sinbun dari edisi Juli 1942 sampai April 1945. “Ada foto-fotonya di koran tersebut”, jelasnya. Dia mengaku mendapatkan koleksi tersebut dari hunting. Sebuah pekerjaan yang ditekuninya, karena memang suka. “Itu memang hobi saya”, ujarnya.

Din juga senang mengumpulkan uang-uang kuno, logam abad ke 17 dan 18. juga uang kertas, foto-foto dan perangko dari tahun 1800-an. Ia juga punya koleksi surat-surat tua. Jumlahnya ada puluhan. Koleksi-koleksi itu memiliki nilai sejarah tersendiri. Ia juga mengoleksi kerajinan kain kompoterer. Ia mengaku banyak belajar dari warisan budaya bangsa Indonesia itu. Hampir semua koleksinya berupa dokumen dan arsip serta buku dan foto kuno itu ada nilai sejarahnya.

Di tengah-tengah kesibukannya, pria keturunan Bugis—Melayu ini paling senang mengunjungi museum-meuseum dan bersilaturahmi kepada para sesepuh.

Mengabdikan hidup dan kehidupan bagi kepentingan bangsa. Itulah salah satu filosofi dalam mengarungi hidup. “Hidup akan lebih berarti jika kehidupan ini memberikan manfaat bagi kepentingan yang lebih besar. Bukan hanya kepada pribadi, tapi kepada bangsa. Untuk itu, hidup harus diperjuangkan”, ujar pria kelahiran Ngabang Landak, 29 Maret 1974 ini.

Dalam mengarungi kehidupan, menurut sarjana lulusan Program Studi Bahasa dan Seni Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura (FKIP Untan) ini, harus punya semangat dan integritas. Berjalan apa adanya, tidak munafik, dan tidak hanya memikirkan diri sendiri, berbuat sesuatu dengan ikhlas, bukan punya motivasi untuk memperkaya pribadi dan keluarga.


Untuk menghasilkan karya yang maksimal, Din yang menikah dengan Isnawita pada 2006 ini berusaha berjalan seperti air mengalir. Dalam setiap perjalanan hidup, menurut penulis 27 judul buku yang telah diterbitkan itu, ada lorong-lorong yang harus dilewati yang pada satu waktu akan bertemu dan bergerak sesuai takdirnya.

Seseorang tidak boleh tergantung pada nasib. Tapi harus bekerja, berusaha kerja keras dengan segala upaya. Tidak boleh menyerah. Berjuang sampai darah penghabisan, jangan tanggung jangan kepalang. “Dalam hidup, harus membuat sejarah dan divcatat oleh sejarah”, tegas Direktur Eksekutif PeDAS ini.

Di dunia politik, jelas Din yang sempat untuk sedikit waktu mencicipi dunia politik praktis ini, harus punya peran dan posisi dalam menentukan sejarah perjalanan bangsa. Untuk mewujudkan itu, motivasi seseorang harus jelas. Tujuan politik bukan sekedar mengejar jabatan, tapi memperbaiki keadaan. “Harus memikirkan legacy. Pengakuan dari rakyat dan posisinya dalam sejarah”, tegas dia. Banyak orang menjabat, tapi tempatnya dalam sejarah tidak ada. “Berbeda dengan Bung Karno dan Pak Harto, suka atau tidak suka, punya tempat dalam sejarah”, lanjut mantan aktifis pers kampus ini.

Salah satu kegelisahan Din adalah melihat kondisi kehidupan pekerja dan nelayan yang masih terpuruk. Hatinya teriris melihat kondisi demikian. Pria yang semasa kuliah mengasuh tabloid Mimbar Untan (1992—1996) ini, banyak melakukan korespondensi dengan rekan sejawat dan lembaga-lembaga yang berkaitan di negara lain, baik bilateral maupun multilateral.

Bekerja sebagai profesional, menurut pengakuan mantan aktifis GMNI semasa kuliah ini, relatif baru dijalaninya. Namun, ketika masuk dan terjun ke dalamnya, ia berkesimpulan punya pengetahuan tentang dunia perekonomian sangat penting. Dengan terjun menjadi profesional, Din menjadi tahu dan merasakan, bahwa ekonomi tidak bisa dilepaskan dari persoalan politik dan kekuasaan.

Beranjak dari dunia politik yang sedikit waktu sempat digelutinya, pekerja pers, sosial dan budaya, profesional bagi Din menjadi tantangan baru. “Menjadi bagian penting dari sebuah proses perubahan”, akunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar